Hoegeng Iman Santoso

Penulis: saradita oktaviani
Editor: Putradi Pamungkas
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Jenderal Hoegeng Iman Santoso merupakan Kapolri periode pertama


Daftar Isi


  • Kehidupan Pribadi


TRIBUNNEWSWIKI.COM - Jenderal Polisi Drs. Hoegeng Imam Santoso adalah Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri) ke-5 yang bertugas dari tahun 1968 - 1971.

Hoegeng Iman Santoso lahir pada 14 Oktober 1921 di Kota Pekalongan.

Hoegeng merupakan putra pertama dari pasangan Soekario Kario Hatmojo dan Oemi Kalsoem.

Ayah Hoegeng merupakan pegawai atau ambtenaar Pemerintah Hindia Belanda.

Ibu Hoegeng, Oemi Kalsoem, berasal dari Pemalang, anak bungsu dari Suro Hatmojo, Wedana di Distrik (Kawedanan) Banjar, Afdeling (Kabupaten) Tegal.

Baca: Museum Polri

Dapat dikatakan bahwa Hoeng berasal dari keluarga ambtenaar (pegawai Pemerintah Hindia Belanda), atau dikenal sebagai keluarga ningrat.

Ketika berumur lima tahun, ayah Hoegeng yang menjabat sebagai Jaksa Pengadilan Negeri dipindahkan ke kota Pemalang dan tinggal di rumah Eyang Putri, ibu dari ibu Hoegeng.

Tak lama tinggal di kota Pemalang, ayahnya dipindahkan lagi ke kota Pekalongan dengan kenaikan pangkat dari Jaksa menjadi Hoofd Jaksa (Inlandsch Officer van Juctitie).

Jabatannya adalah Kepala Kantor Kejaksaan di wilayah Karesidenan Pekalongan yang membawahi Kabupaten (Afdeling) Tegal, Brebes, Pemalang, dan Pekalongan

Masa kecil Hoegeng diwarnai dengan kehidupan sederhana karena ayahnya tidak punnya tanah dan rumah pribadi.

Maka dari itu ayahnya selalu menyewa rumah yang lumayan besar untuk menampung keponakan serta kerabatnya.

Hoegeng menikah dengan Meriyati pada 1946 dan dikaruniai tiga orang anak.

Hoegeng meninggal pada 14 Juli 2004 karena sakit stroke. (1)

Ulang tahun pernikahan ke 50 Hoegeng dan Isterinya beserta tiga orang anaknya (1996)

  • Pendidikan


Hoegeng pada 1927 masuk sekolah di Kelas I Hollandsch Inlandsche School (HIS) setingkat SD di Pemalang.

Ketika baru naik kelas II, Hoegeng dipindahkan ke HIS Pekalongan, mengikuti ayahnya yang dipindahkan ke Pekalongan, dan tinggal di Kampung Poncol.

Hoegeng tamat dari HIS tahun 1934.

Kemudian Hoegeng masuk Meer Uitgebried Lager Onderwijs (MULO) setingkat SMP di Pekalongan.

Baca: Kain Poleng

Sekolahnya berada tidak jauh dari rumahnya sehingga Hoegeng naik sepeda ke sekolah.

Bahasa pengantar di MULO menggunakan Bahasa Belanda.

Pada 1937 Hoegeng menamatkan sekolah MULO dengan nilai yang lumayan.

Kemudian Hoegeng masuk Algemeene Middlebare School (AMS) setingkat SMA di kota Yogyakarta dan tinggal di Jalan Kraton.

Soegeng masuk Jurusan A II yang lebih menekankan pada Bahasa dan sastra barat.

Setelah tamat AMS tahun 1940, Eyang Putri lebih menginginkan Hoegeng masuk OSVIA di Surabaya agar nantinya menjadi pamong pemerintahan.

Tetapi Soegeng memilih masuk ke RHS di Batavia.

Pada 1940, Hoegeng berusia 19 tahun melanjutkan kuliah di Recht Hoge School (RHS) Sekolah Tinggi Hukum di Batavia. (1)

Maret 1942 Jepang menduduki Hindia Belanda.

Awalnya Hoegeng Hoegeng merasa lega ketika Jepang datang.

Tapi, kemudian militer Jepang menutup RHS.

Tutupnya RHS di Batavia membuat Hoegeng menganggur dan kembali ke Pekalongan.

Hoegeng menggunakan waktu luangnya untuk menjual telur dan buku sekolah Jepang untuk berpergian ke kota termasuk Pati dan Semarang dengan temannya Soehardjo Soerjobroto.

Di Semarang, Hoegeng bertemu kerabatnya dan ditawari bekerja di stasiun radio Hoso Kyoku.

Hoegeng diterima dan mulai bekerja sebulan kemudian.

Saat bekerja di stasiun, Hoegeng melihat lowongan untuk pemuda-pemuda Indonesia lulusan MULO memasuki suatu kursus polisi.

Hoegeng kemudian melamar dan diterima sebagai salah satu dari sebelas anggota kepolisian dari 130 pelamar. (2)

  • Karier


Kursus Polisi di Pekalongan tenyata hanya sebuah kursus Hoofd Agen Polisi, dua tingkat di bawah pangkat Inspektur Polisi Kelas II.

Setelah berjalan lebih dari tiga sanpai enam bulan, Hoegeng tamat dari sana dan tidak berijazah.

Tetapi Hoegeng langsung diberi pangkat Junsa Butyo, setingkat di bawah Hoofd Agen Kelas II pada zaman Belanda atau di bawah Ajun Inspektur Polisi Kelas II di zaman RI.

Sekolah polisi di Pekalongan adalah salah satu prosuk sekolah kepolisian zaman Jepang yang kemudian sebagaian besar siswanya berkembang menjadi perwira-perwira elite Kepolisian RI gelombang pertama.

Pada usia 21 tahun Hoegeng bekerja di kantor Jawatan Kepolisian Karesidenan Pekalongan.

Kemudian Hoegeng melanjutkan pendidikan untuk kader polisi tinggi kepolisian di Sukabumi.

Baca: Yuki Kato

Setelah mengikuti pendidikan di Sukabumi, Hoegeng turun pangkat menjadi Minarei Junsa-Butyo (Bintara) dan ditempatkan di Kantor Chiang Bu (Keamanan) kota Semarang.

Pada 1945 Hoegeng meninggalkan Jawatan Kepolisian kemudian melapor pada M Natzir di Yohyakarta dan bergabung dengan Angkatan Laut.

Saat di Yogyakarta Hoegeng bertemu kembali dengan Raden Sait Soekanto yang memangku jabatan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia yang pertama (kemudian diganti Panglima Angkatan Kepolisian lalu Kapolri).

R.S Soekanto adalah gurunya pada zaman Jepang di Sekolah Kader Tinggi Polisi di Sukabumi.

Pada 1946 akhirnya Hoegeng memutuskan kembali ke kepolisian.

Joegeng bergabung kembali dengan jajaran kepolisian di Yogyakarta sebagai mahasiswa tugas belajar Akademi Kepolisian di Mertoyudan.

Pangkatnya saat itu adalah Inspektur Polisi Kelas II.

27 Desember 1949 dilakukan penyerahan kedaulatan ke tangan Republik Indonesia.

Hoegeng sekeluarga pindah ke Jakarta.

Di Jakarta Hoegeng merangkap sebagai mahasiswa Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) dan sebagai polisi juga.

Setelah lulus dari PTIK angkatan pertama pada bulan November 1952, Hoegeng ditugaskan pada Jawatan Kepolisian Provinsi Jaw Timur pimpinan Soekarno Djojonagoro di Surabaya sebagai Wakil Kepala Direktorat Dinas Pengawasan Keselamatan Negara (DPKN) dengan pangkat Komisaris Polisi Kelas I.

Hoegeng diangkat sebagai Kepala DPKN di Komdak Jawa Timur setelah beberapa bulan.

Pada 1956 Hoegeng dipanggil ke Jakarta bertemu dengan Direktur Reskrim Mabak, Soelaiman Effendy.

Di Jakarta Hoegeng mendapatkan penjelasan-penjelasan tentang perlunya negara melakukan tindakan pembersihan besar-besaran di Sumatra Utara.

Akhirnya disepakati Hoegeng yang ditugaskan ke Medan sebagai Kasi Reskrim Kantor Polisi Provinsi Sumatra Utara.

Sumatra Utara disebutkan sebuah wilayah kerja yang dimitoskan sebagai ‘wilayah test case’ yang berat di Indonesia.

Harapannya, mampu memberantas korupsi, penyelundupan, dna perjudian, dengan pangkat Ajun Komisaris Besar Polri.

Oktober 1959 Mabak menunjuk Hoegeng untuk mengikuti pendidikan Brimob di Porong, Jawa Timur.

Satu setengah bulan kemudian Hoegeng kembali lagi ke Medan.

Tak lama, pada 1959 Hoegeng dipindahkan ke Kepolisian Komisariat Jakarta Raya, sebagai Kasi Reskrim Kepolisian Komisariat Jakarta Raya menggantikan AKBP Soetrisno.

Karena serah terima belum dilakukan, Hoegeng menghadap Menteri Pangkak yang baru, Soekarno Djojonagoro.

Maka dikeluarkannya keputusan baru sehingga Hoegeng ditarik ke Direktorat II Mabak pada 9 Januari 1960.

Hoegeng kembali diangkat menjadi Kepala Jawatan Imigrasi pada 19 Januari 1960.

Baca: Gregoria Mariska

Tugas Hoegeng sebagai Kepala Jawatan Imigrasi cukup lama, kemudian mengundurkan diri pada Juni 1965.

Hoegeng diangkat sebagai Menteri Iuran Negara oleh Bung Karno atas usulan Sri Sultan HamengkubuwonoIX pada 19 Juni 1965 di Istana Negara.

Saat ia menjabat, Indonesia sedang mengorbankan ‘Ganyang Malaysia’ atau sebang menjalankan ‘Politik Konfrontasi’ dengan Malaysia.

Hoegeng diangkat sebagai Menteri/Sekretaris Kabinet Inti pada 26 Maret 1966.

Tugas pertmanya yaitu melakukan persiapan rencana rapat para anggota Presidium Kabinet Dwikora.

Setelah tiga bulan menjabat, pada 3 Agustus 1966 keluar SK Presiden yang memberhentikan Hoegeng dari jabatan Menteri/Sekretaris Kabinet Inti

Namun mengangkat Hoegeng sebagai Deputi Menteri Muda Panglima Angkatan Kepolisian Urusan Operasi dengan tugas melakukan koordinasi dan supervisi Brimob, Korps Perairan dan Udara, Direktorat Tugas Umum, dan Direktorat Lalu Lintas.

Namun sejak 1967 fungsi Hoegeng adalah memegang pimpinan harian dan pengendalian Urusan Operasi Kepolisian.

1 Mei 1968 pangkat Hoegeng dinaikkan menjadi Komisaris Jenderal Polisi.

Belum satu bulan sejak kenaikkan pangkatnya, Hoegeng dilantik menjadi Panglima Angkatan Kepolisian RI dengan Inspektur Upacara Jenderal TNI Soeharto. (1)

Jenderal Hoegeng saat bertugas selalu memantau situasi melalui HT. (sumber: Ensiklopedi Kapolri)

  • Kasus Sum Kuning


Kasus ini terjadi pada 21 September 1970.

Sum Kuning adalah kasus pemerkosaan yang menimpa seorang warga Yogyakarta yang dilakukan oleh beberapa orang anak-anak dari orang berpengaruh di Yogya. (3)

Saat gadis itu melapor ke polisi, ia justru dijadikan tersangka dengan tuduhan laporan paslsu.

Karena melibatkan anak-anak pejabat yang berpengaruh, Sum justru dituding anggota Gerwani.

Pada masa itu pemerintah Soeharto gencar menangkapi anggota PKI dan underbouw-nya, termasuk Gerwani.

Kasus Sum disidangkan di Pengadilan Negeri Yogyakarta dan bersifat tertutup.

Jaksa menuntuk Sum penjara tiga bulan dan nsatu hatun percobaan.

Tetapi majelis hakim menolak tuntutan tersebut.

Dalam putusannya, Hakim Ketua Lamijah Moeljarto menyatakan Sum tak terbukti memberikan keterangan palsu.

Karena itu Sum harus dibebaskan.

Hoegeng terus memantau perkembangan kasus ini.

Baca: Gerhana Matahari

Hoegeng memanggil Komandan Polisi Yogyakarta AKBP Indrajoto dan Kapolda Jawa Tengah Kombes Suswono.

Hoegeng memerintahkan Komandan Jenderal Komando Reserse Katik Suroso mencari siapa saja yang memiliki fakta soal pemerkosaan Sum Kuning.

Hoegeng membentuk tim khusus untuk menangani kasus ini yang dinamai ‘Tim Pemeriksa Sum Kuning’ pada Januari 1971. 

Kasus ini berjalan lamban sehingga Presiden Soeharto turun tangan dalam membentuk Tim Pemeriksa Pusat (Teperpu) atau Kopkamtib. (4)

  • Pemberhentian Jabatan


Kasus Robby Tjahyadi, seorang warga yang terlibat kejahatan penyelundupan mobil mewah senilai 716.243.400 rupiah.

Kasus ini menjadi besar bukan karena nilai rupiahnya saja saat itu, tetapi karena Robby ternyata memiliki hubungan sangat dekat dengan keluarga Cendana.

Kasus ini pula diduga-duga oleh banyak pihak sebagai pemicu pemberhentian Hoegeng sebagai Kapolri.

Jenderal Polisi Hoegeng diberhentikan sebagai Kapolri pada 2 Oktober 1971.

Digantikan oleh Komisaris Jenderal Polisi Drs Moh Hasan.

Prosesi pergnggantian ini membuat banyak pihak bertanya-tanya karena masa jabatan Kapolri yang belum habis.

Ketika itu sepucuk surat dinas dari Menhakam diantarkan ke meja Hoegeng.

Isinya suatu pemberitahuan agar Hoegeng tidak berkecil hati atas penunjukannya sebagai duta besar di salah satu negara penting di Eropa Barat (Kerajaan Belgia).

Baca: Kim Jaehwan

Kemudian Hoegeng meminta penjelasan ke atasannya, yaitu Menteri Pertahanan/Keamanan Jenderal TNI M Panggabean mengenai tawaran jabatan baru yang dipercayakan Presiden kepadanya.

Didapati keterangan bahwa tawaran tersebut diajukan karena kedudukan Hoegeng sebagai Kapolri akan ditempati orang lain.

Panggabean menjawab bahwa di jajaran Dephankam tidak ada lagi pos untuk perwira tinggi bintang empat.

Akhirnya Goegeng tahu, bahwa pemberhentian ini samata-mata bleid (hak prerogatif) Presiden.

Ujung pembicaraan, Hoegeng dengan ikhlas mengatakan bahwa “Kalau begitu, ya sudah, saya keluar saja.” (1)

(TRIBUNNEWSWIKI.COM/Saradita)

Jangan lupa subscribe official Youtube channel TribunnewsWiki di TribunnewsWIKI Official



Nama Hoegeng Iman Sntoso


Pendidikan Hollandsch Inlandsche School (HIS)


Meer Uitgebried Lager Onderwijs (MULO)


Algemeene Middlebare School (AMS)


Recht Hoge School (RHS)


Lahir 14 Oktober 1921, Pekalongan, Jawa Tengah


Isteri Meriyati


Karier Kapolri


Sumber :


1. polri.go.id
2. en.wikipedia.org
3. jogja.tribunnews.com
4. www.merdeka.com/peristiwa/hoegeng-dan-kisah-pemerkosaan-sum-kuning.html


Penulis: saradita oktaviani
Editor: Putradi Pamungkas
BERITA TERKAIT

Berita Populer