Informasi awal #
TRIBUNNEWSWIKI.COM - Aroma 'Belanda' masih dapat tercium dengan jelas di Kota Depok, khususnya di sepanjang Jalan Pemuda, Kecamatan Pancoranmas.
Sepanjang Jalan Pemuda itu disebut-sebut sebagai wilayah orang Depok asli. Sejarah Kota Depok pun bisa ditelusuri di Jalan Pemuda ini.
Istilah orang Depok asli merujuk pada warga keturunan 12 marga.
Mereka merupakan pewaris lahan seluas 1.244 hektar milik pensiunan pegawai Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) yang kemudian menjadi Tuan Tanah Belanda Cornelis Chastelein.
Cornelis Chastelein tercatat menguasai Depok sejak tahun 1696 hingga mengembuskan nafas terakhirnya pada tahun 1714.
Bagi orang luar Kota Depok, Chastelein tak ubahnya penjajah seperti orang Belanda lainnya pada masa kolonial atau Pemerintah Hindia-Belanda.
Akan tetapi, bagi kaum Depok, Chastelein adalah pahlawan.
Selain karena membebaskan mereka dari perbudakan, Chastelein juga mewariskan tanah yang amat luas bagi ke-12 marga yang dibentuknya.
Ke-12 marga itu berturut-turut: Bacas, Isakh, Jacob, Jonathans, Joseph, Laurens, Leander, Loen, Samuel, Soedira, Tholense, dan Zadokh.
Hingga kini, jejak peninggalan Chastelein masih dapat ditemui di sejumlah titik di Kota Depok.
Gereja GPIB Immanuel di Jalan Pemuda, Depok, diresmikan Tuan Tanah Belanda Cornelis Chastelein tahun 1714. (Warta Kota/Gopis Simatupang)
Berikut bangunan peninggalan Belanda di Kota Depok:
- Gereja Immanuel
Salah satu bangunan peninggalan Cornelis Chastelein di Depok adalah gedung Gereja Protestan di Indonesia Bagian Barat (GPIB) Immanuel, terletak di Jalan Pemuda, Pancoranmas.
Gereja Immanuel dibangun pada tahun 1714, bertepatan dengan tahun meninggalnya Cornelis Chastelein.
Sebelum wafat, Cornelis Chastelein sempat meresmikan bangunan peribadatan jemaat Nasrani itu.
Menurut Thabitha Loen, keturunan salah satu dari 12 marga Depok, Gereja Immanuel awalnya dinamakan Jemaat Masehi Depok.
"Gereja ini dibangun supaya keluarga 12 marga Depok tidak usah jauh-jauh gereja ke Jakarta," kata Thabitha Loen kepada Warta Kota Wiki, di Depok, Selasa (10/12/2019).
Mulanya, gereja ini dibangun dengan material kayu dan bambu, kemudian mengalami beberapa kali renovasi.
Pada tahun 1792, material kayu diganti dengan batu agar tahan gempa.
Di tembok depan GPIB Immanuel tertulis 'Didirikan 1854 Jemaat Masehi Depok', merujuk pada tahun dibukanya kembali gereja setelah sempat roboh akibat gempa.
"Gereja itu memiliki 12 pintu yang masing-masing diberi nama ke-12 marga orang Depok," katanya.
2. Kantor Kotapraja
Semasa hidup, Cornelis Chastelein telah mendidik para pekerjanya dengan berbagai pengetahuan praktis untuk mengelola dan menata desa, pertanian, serta perpajakan.
Dia juga mengajarkan bagaimana mencari nafkah, kaidah-kaidah rohani, dan kaidah-kaidah rumah tangga.
Sejak wasiat Chastelein berlaku, ke-12 pewarisnya mulai mengelola sendiri tanahnya dengan aturan bagi hasil yang diawasi oleh Gemeente Bestuur (Kotapraja) Depok yang mereka bentuk sendiri.
Bekas bangunan kantor Gemeente Bestuur saat ini telah beralih fungsi menjadi Rumah Sakit Harapan, di Jalan Pemuda.
Bangunan Rumah Sakit Harapan masih tetap mempertahankan bentuk asli dari kantor Kotapraja Depok itu.
3. Tugu Cornelis Chastelein
Persis di depan bangunan Rumah Sakit Harapan juga terdapat tugu berbentuk kerucut yang dibangun oleh 12 marga Depok demi mengenang Cornelis Chastelein.
Tugu tersebut aslinya diberi nama Monumen Pembebasan dari Ikatan Perbudakan, sebagai penghormatan bagi Chastelein yang dianggap telah membebaskan mereka dari perbudakan.
Namun, keberadaan tugu tersebut tidak dikehendaki oleh Pemerintah Kota Depok. Saat Yayasan Lembaga Cornelis Chastelein (YLCC) berniat merenovasi tugu tersebut, mereka dihalangi.
Kala itu, pemerintah setempat berpandangan bahwa tidak ada gunanya membangun tugu untuk mengenang penjajah.
4. Rumah Presiden Depok
Setelah membentuk Gemeente Bestuur, kata Thabitha Loen, masyarakat Depok selanjutnya dipimpin oleh seorang presiden (ketua) yang dipilih bergantian, tiap tiga tahun.
Tugas Gemeente Depok pada saat itu adalah untuk mengatur perpajakan dan pengelolaan otonomi daerah Depok demi kesejahteraan masyarakatnya.
Gemeente menarik tjoeke (pajak) 1/10 bagian dari hasil panen, yang diserahkan secara suka rela oleh masyarakat.
Selain hasil bumi tjoeke juga didapat dari produksi tembikar, genteng, dan bata.
Semua dikumpulkan dan dijual, hasilnya untuk membiayai Gemeente.
Masyarakat Depok hidup dengan aturan Gemeente yang adil, hingga kotapraja ini berakhir tahun 1950.
Rumah Presiden Depok terakhir berada persis di seberang kantor Gemeente Bestuur (kini RS Harapan).
Berbeda dengan "istana" presiden pada umumnya, rumah presiden Depok hanya berupa bangunan tempat tinggal biasa, tak ubahnya seperti rumah tinggal lainnya.
5. Jembatan Panus
Jembatan Panus, yang terletak di Jalan Raya Thole Iskandar, Depok, merupakan jembatan penghubung wilayah Bogor dan Batavia pada masa kolonial.
Jembatan yang memiliki lebar lima meter dan panjang 100 meter ini, pernah mempunyai peran sebagai jalur perlintasan hingga peran jembatan tersebut tergantikan.
Jembatan Panus ini merupakan jembatan yang melintasi Sungai Ciliwung.
Jembatan Panus dibangun pada tahun 1917 oleh seorang insinyur bernama Andre Laurens.
Julukan Jembatan Panus diberikan berdasarkan nama Stevanus Leander.
Stevanus Leander adalah seorang warga yang tinggal di samping jembatan tersebut.
Namun untuk memudahkan lafal, nama itu disingkat menjadi 'Panus'.
Pada masa pemerintahan Belanda, jembatan ini merupakan satu-satunya jembatan penghubung antara Depok dengan Bogor dan ke Batavia.
6. Rumah Cimanggis
Rumah Cimanggis adalah bangunan cagar budaya yang terletak di Jalan Raya Bogor, Kompleks RRI, Cimanggis, Kota Depok.
Rumah Cimanggis dibangun oleh Gubernur Jenderal Petrus Albertus Van der Parra pada tahun 1775 sebagai landhuis atau rumah peristirahatan (vila).
Namun, sebelum bangunan selesai dibangunan, Van der Parra keburu meninggal dunia. Bangunan dan lahan itu lalu dia wariskan kepada jandanya, Johanna Bake.
Sebelumnya, Rumah Cimanggis dibangun di atas lahan perkebunan karet dengan jalan amat buruk.
Saat Van der Parra membangun Rumah Cimanggis, dia juga turut membangun jalan menjadi sangat modern (sekarang Jalan Raya Bogor).
Karena jalan bagus, lokasi itu pun menjadi ramai dan menjadi salah satu titik transit dan tempat pergantian transportasi kuda.
Pada kemudian hari, Gubernur Jenderal Daendels menjadikan jalan yang dibangun Van der Parra sebagai standar atau acuan dalam membangun Jalan Raya Pos sepanjang Anyer-Panarukan.
Pembangunan jalan yang dilakukan Daendels itu untuk membangun kota modern ke arah selatan Batavia.
| Alamat |
|---|
| Lokasi |
|---|
| Google Map |
|---|