TRIBUNNEWSWIKI.COM - Seorang anak berhadapan dengan hukum berinisial IS (16 tahun).
Ia diduga menjadi otak pelaku pembunuhan dan pemerkosaan AA (13 tahun)—gadis SMP di Palembang, Sumatera Selatan.
Anak tersebut divonis 10 tahun hukuman penjara, lebih ringan dari tuntutan hukuman mati yang diajukan jaksa.
"Menjatuhkan pidana penjara terhadap IS hukuman pidana penjara selama 10 tahun," kata Ketua Majelis Hakim, Eduward di Pengadilan Negeri (PN) Palembang, Kamis (10/10), dikutip dari Kompas.com.
IS diwajibkan mengikuti pelatihan kerja selama satu tahun di Dinas Sosial Kota Palembang.
Majelis hakim menganggap IS terbukti bersalah melanggar Pasal 76 D juncto Pasal 81 Ayat 5 Undang-Undang Perlindungan Anak juncto Pasal 55 Ayat 1 KUHP.
Sementara, tiga anak lainnya, MZ (13), NZ (12) dan AS (12)—yang dikategorikan sebagai Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH)—juga divonis terbukti bersalah.
Sebelumnya, keluarga korban AA yang diduga diperkosa dan dibunuh oleh empat anak di Palembang, Sumatra Selatan, ingin para pelaku dihukum setimpal dengan perbuatan mereka.
S, ayah korban, mengaku tak terima jika pelaku hanya direhabilitasi lantaran tindakan mereka telah merenggut nyawa sang anak.
"Sebagai orangtua AA, jika anak itu [tiga orang pelaku] direhabilitasi saja, enak bener. Karena ini menyangkut nyawa, masak harus dibebaskan tanpa syarat?" ujar S.
Kepolisian Sumatra Selatan menyebut motif dari empat pelaku melakukan pemerkosaan terhadap AA lantaran ingin menyalurkan hasratnya. Pasalnya para pelaku disebut kecanduan konten pornografi.
Komisioner KPAI, Dian Sasmita, menyebutkan tiga pelaku berusia anak yang dititipkan di panti sosial menyadari perbuatan mereka salah dan beberapa kali mereka menangis sebagai bentuk penyesalan.
Koalisi masyarakat sipil yang tergabung dalam Aliansi Penghapusan Kekerasan Terhadap Anak (PKTA) telah meminta bahwa penegakkan hukum kasus ini harus dengan hati-hati, dan tidak semata-mata merespon dengan pembalasan, yang justru akan meneruskan siklus kekerasan.
Mengapa tuntutan hukum diprotes?
Sebelumnya, koalisi masyarakat sipil Aliansi Penghapusan Kekerasan Terhadap Anak (PKTA), menyatakan tuntutan tersebut melanggar undang-undang.
"Anak berkonflik dengan hukum tidak dapat dijatuhkan pidana mati atau seumur hidup. Hal ini sesuai dengan Pasal 3 huruf f UU SPPA (Sistem Peradilan Pidana Anak) yang mengatur bahwa anak berhak untuk tidak dijatuhkan pidana mati atau pidana seumur hidup," ujar peneliti ICJR, Adhigama Andre Budiman dalam keterangan tertulis yang diterima BBC News Indonesia, Kamis (10/10).
Selain itu, pasal 81 Ayat (6) UU SPPA secara jelas menyatakan jika anak berkonflik dengan hukum yang diancam dengan pidana mati atau seumur hidup maka pidana yang dijatuhkan adalah pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun.
Pidana penjara sekalipun hanya dapat diberlakukan sebagai upaya terakhir dan tidak dapat dijatuhi pidana mati.
"Menuntut pidana mati pada anak merupakan pelanggaran UU," tegas Adhigama.
Bagaimana kronologinya?
Peristiwa pemerkosaan yang disertai pembunuhan terhadap siswi SMP berinsial AA (13 tahun) terjadi Minggu (01/09).
Gadis penjual balon itu ditemukan sudah tak bernyawa di areal Tempat Pemakaman Umum, Talang Kerikil, Palembang, Sumatra Selatan.
Ibu korban, W berkata menerima kabar tentang kematian anaknya dari keponakannya yang menyatakan AA ditemukan sudah meninggal di areal pemakaman.
"Dapat kabar itu saya langsung ke kuburan Cina. Saya lihat sudah ramai polisi dan anak saya langsung dibawa ke RS Bhayangkara," ungkap dia.
Perempuan paruh baya ini bahkan masih tak percaya sang anak telah tiada.
Pasalnya, satu jam sebelum ditemukan meninggal, ia sempat ngobrol dengan AA.
Hasil otopsi memperlihatkan korban mati lemas karena kekurangan oksigen.
Ada luka akibat benda tumpul di leher korban.
Kapolrestabes Palembang, Harryo Sugihhartono, mengatakan bahwa kasus tersebut bermula dari perkenalan AA dengan IS (16 tahun).
Setelahnya, perkenalan mereka berlanjut mmelalui aplikasi perpesanan di Facebook.
Namun, petaka bermula saat IS mengajak AA menonton kesenian tradisional kuda lumping yang berada di kawasan Jalan Pipa Reja, Kecamatan Kemuning, pada Minggu siang.
Setelah berjumpa, IS lantas mengajak AA jalan-jalan di krematorium dengan diikuti oleh tiga orang lain yakni MZ (13 tahun), NS (12 tahun), dan AS (12 tahun).
Saat sampai di TPU Talang Kerikil, IS disebut polisi membujuk AA untuk melakukan hubungan seksual, akan tetapi ditolak oleh korban.
AA dibekap oleh IS dan tubuh AA dipegangi oleh ketiga rekan IS tersebut. AA yang tak bisa bernapas kemudian meninggal.
Namun, IS dan teman-temannya mengira korban dalam kondisi pingsan.
"Menurut pengakuan pelaku, mereka mengira korban pingsan, dalam keadaan meninggal korban diperkosa oleh IS diikuti oleh tiga pelaku lainnya," ujar Kapolrestabes Palembang, Harryo Sugihhartono.
Setelahnya, keempat pelaku membopong jasad korban ke kuburan agar aksi mereka tidak diketahui orang lain.
Di tempat kedua, tubuh AA yang sudah meninggal kembali diperkosa untuk kedua kalinya oleh pelaku secara bergantian.
Apa motif dan bagaimana bisa terungkap?
Setelah menelantarkan jasad AA begitu saja di areal kuburan, empat pelaku kembali lagi ke tempat pertunjukan seni kuda lumping dan menceritakan perbuatan itu kepada teman-temannya yang lain.
"Cerita tersebut menjadi awal kami mendapatkan keterangan dari saksi sehingga dapat mengungkap peran para pelaku," tutur Harryo.
Berselang dua hari kemudian, polisi menetapkan empat orang sebagai tersangka: IS (16 tahun), MZ (13 tahun), NS (12 tahun), dan AS (12 tahun).
Dari hasil pemeriksaan, polisi menyebut motif dari empat pelaku melakukan pemerkosaan terhadap AA karena ingin menyalurkan hasratnya.
Pasalnya para pelaku disebut polisi kecanduan konten pornografi berdasarkan bukti temuan video-video bermuatan pornografi di ponsel milik IS.
"Kami telah melakukan pemeriksaan terhadap pelaku yang dipandu oleh psikolog Biro SDM Polda Sulsel. Motifnya adalah menyalurkan nafsu," ucap Harryo.
Para pelaku, kata polisi, dikenakan pasal 76C dan pasal 80 ayat 3 UU yakni penganiayaan dan pencabulan sesuai UU nomor 35 tahun 2014 tentang perlindungan anak.
Ancaman hukuman maksimal 15 tahun penjara.
Namun demikian karena tiga di antara pelaku masih berusia anak, maka MZ, NS, dan AS dititipkan di panti sosial rehabilitasi anak bermasalah hukum (PSR ABH) Indralaya.
Sementara IS mendekam di rutan Polrestabes Palembang.
Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Sumatra Selatan, Sunarto, menyebutkan kendati masih berusia anak proses hukum ketiganya tidak akan dikesampingkan.
Meski begitu hukuman yang dikenakan bukan pemidanaan.
Merujuk pasal 69 UU nomor 11 tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak, maka anak yang berhadapan dengan hukum akan dikenai tindakan berupa pengembalian kepada orang tua, penyerahan kepada seseorang, perawatan di rumah sakit jiwa, atau perawatan di lembaga penyelenggaraan kesejahteraan sosial (LPKS), serta kewajiban mengikuti pendidikan formal dan atau pelatihan yang diadakan oleh pemerintah/badan swasta.
Ayah korban: enggak bener cuma direhabilitasi
S, ayah AA, tak terima jika para pelaku hanya dikenai tindakan berupa rehabilitasi, bukan menjalani hukuman pidana.
Sebab, meskipun tiga di antara pelaku masih berusia anak, tapi perbuatan mereka mengakibatkan putri kesayangannya meninggal.
"Sebagai orangtua AA, jika anak itu [tiga orang pelaku] direhabilitasi saja, enak bener. Karena ini menyangkut nyawa, masak harus dibebaskan tanpa syarat? Mereka memang di bawah umur, tapi pikirannya sudah dewasa," ucapnya kepada wartawan Nefri Inge di Palembang yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.
Baginya perbuatan para pelaku sudah tidak manusiawi.
Apalagi orang tua pelaku hingga sekarang tidak ada itikad baik untuk bertanggung jawab atau meminta maaf kepada keluarganya.
Jika orang tua pelaku menyambanginya dan meminta maaf, Safarudin kemungkinan menerima dengan tangan terbuka serta memberi maaf kepada pembunuh anaknya.
"Seandainya orangtua pelaku, terutama otak pelaku itu [IS] meminta maaf, saya masih pertimbangkan menerima para pelaku [direhabilitasi]."
"Saya maafkan, ada cara kekeluargaan, karena Tuhan saja Maha pengampun ke umat-Nya. Kita siap menerima siapa pun. Kalau orang tuanya takut, bisa minta dampingi RT, camat atau lainnya. Tapi kalau begini, apa maksud orang tua pelaku. Apalagi mau direhab, saya benar-benar tidak terima."
Pria paruh baya ini masih sangat terpukul dengan kematian sang anak.
Namun demikian, ia akan mengikuti proses hukum yang berjalan.
"Saya ikuti hukum, karena saya ini orang bodoh, tidak tahu bagaimana hukum itu. Saya minta tolong benar ke kepolisian, bagaimana jalan keluarnya ini. Kami meminta hukuman yang adil saja."
Korban AA, kenang S sebagai anak yang baik dan sopan.
Ia mengenang permintaan terakhir anaknya minta dibelikan ponsel untuk aktivitas sekolahnya.
Tapi karena S tidak punya uang, AA kemudian berinisiatif mencari uang tambahan dengan berjualan balon.
"Dia minta nanti saya tambahin uangnya untuk beli ponsel. Sudah jualan dan upahnya juga sudah ditabungnya sedikit demi sedikit. Tapi ada musibah ini, hancur semua harapan saya. Tidak bisa lagi ngungkapin bagaimana sakitnya," ujarnya.
"Pelaku menyatakan penyesalan"
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Dian Sasmita, menyatakan prihatin atas apa yang menimpa AA dan keluarga.
Dirinya bisa memaklumi jika keluarga AA menuntut hukuman yang setimpal atas kematian korban.
Dalam kasus ini KPAI, katanya, bertugas mengawasi proses hukum yang berjalan demi memastikan hak-hak korban maupun anak yang berhadapan dengan hukum dipenuhi.
Maka, pada pekan lalu KPAI menemui tiga anak pelaku: MZ, NS, dan AS.
Dalam pertemuan singkat itu, mereka mengakui pernah mengonsumsi tayangan pornografi.
"Makanya kami belum berani menyatakan apakah mereka kencanduan atau tidak," ucap Dian kepada BBC News Indonesia.
Secara fisik, ketiganya tampak sehat. Kendati menunjukkan ada kondisi tekanan psikis.
Ketiganya menyadari bahwa perbuatan mereka salah dan beberapa kali mereka menangis sebagai bentuk penyesalan.
"Dari respon mereka, ya ini berat... mereka tahu setiap kesalahan harus siap dengan konsekuensi yang ada."
Kecanduan pornografi memicu pemerkosaan?
Psikologi forensik dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Lucia Peppy, mengatakan secara umum anak-anak usia dini hingga usia sekolah punya kekhasan dalam hal meniru.
Mereka akan memproduksi apa yang dilihat.
"Misalnya anak-anak melihat orang memukul tapi ekspresinya senyum, maka dipikirannya bahwa memukul itu bikin senang," ujar Lucia Peppy kepada BBC News Indonesia.
"Tapi karena kemampuan diri mereka dalam mengontrol emosi, moral, dan sosial belum sempurna jadinya tidak bisa bernalar dengan baik."
Akibat dari kemampuan bernalar yang belum sepenuhnya sempurna itu, menyebabkan mereka tak bisa menentukan mana yang benar dan salah.
Dalam kasus yang terjadi di Palembang, dia menduga ada beberapa faktor yang mendorong para pelaku melakukan tindakan pemerkosaan sampai pembunuhan.
Semakin sering seseorang terpapar konten-konten pornografi, maka daya dorong untuk melakukannya di dunia nyata akan semakin besar.
Namun, kecanduan konten pornografi saja tidak cukup menjadi alasan yang mendorong seseorang bakal melakukan tindakan pemerkosaan.
Ada kontribusi pengasuhan orang tua dan lingkungan yang disebutnya tidak berperan sebagai kontrol sosial dan memberikan pengetahuan soal pendidikan seksual.
"Anak yang berhadapan dengan hukum ini kan sebetulnya korban juga, tapi mereka melakukan perbuatan yang salah. Kesalahan ini terjadi karena anak tidak mendapatkan pengasuhan dan ruang pertumbuhan yang layak."
"Jadi ada tanggung jawab orang di sekitar yang sampai membuat mereka terpapar [konten pornografi]."
Faktor lainnya yang juga menentukan adalah pertemanan dan karakter anak tersebut apakah termasuk yang eksploratif atau tidak.
"Ada orang yang nonton berkali-kali, tapi enggak berani melakukan. Tapi ada orang yang cuma sekali, tapi karena karakternya eksploratif, akan langsung mempraktekkan."
"Kemudian pertemanan, kalau dia berkumpul sama anak-anak yang ibadahnya kuat misalnya, maka akan ada rem untuk berbuat negatif."
"Jadi penyebabnya tidak pernah tunggal, tapi kompleks sekali."
Apa pikiran orang yang kecanduan pornografi?
Konsumsi berlebihan terhadap konten-konten pornografi atau seksual, kata Lucia Peppy, akan membuat 'kamus memori otaknya' dipenuhi oleh aktivitas-aktivitas seksual. Dan ketika berinteraksi dengan perempuan bisa menjadi agresif.
Bagi remaja apalagi yang sudah pubertas, maka dorongan melakukan aktivitas seksual dini sangat mungkin terjadi.
"Kayak menyentuh bagian-bagian tubuh perempuan atau bicaranya jadi cabul."
"Jadi dunianya terbatas pada seksual saja."
Dokter spesialis kejiwaan, Evline Gunawan, juga membeberkan dampak kecanduan konten pornografi di antaranya hilangnya impuls kontrol.
"Mereka makin banyak melakukan tindakan-tindakan impulsif dalam hal seksualitas," ujarnya.
Kemudian muncul masalah dalam hal belajar, relasi sosial, dan produktivitas. Itu mengapa menurut dia, pengawasan oleh orang tua terhadap anak-anak harus diperketat.
Ia menyarankan kepada para orang tua agar lebih sering mengajak anak mereka bicara dan bertanya tentang apa-apa saja yang dikonsumsi dari gawai mereka.
Jika dirasa konten tersebut berbahaya, maka bisa diberi pemahaman tentang apa dampak dari tontonan tersebut.
Intinya, mengajari anak tersebut tentang apa konsekuensi jika meniru konten itu.
(TRIBUNNEWSWIKI.COM/PUTRADI PAMUNGKAS)