TRIBUNNEWSWIKI.COM - Kerumunan di gerbang bandara Kabul dalam beberapa hari terakhir memperlihatkan kekhawatiran warga Afghanistan, setelah negara tersebut jatuh ke tangan Taliban.
Meski demikian, keberadaan penguasa baru Afghanistan itu bukan hal yang paling ditakutkan warga Afghanistan.
Banyak orang mengaku lebih khawatir tentang ancaman krisis ekonomi Afghanistan.
Mereka takut tidak akan mampu memberi makan keluarganya, ketimbang harus menumbuhkan jenggot panjang, yang menjadi praktik dari masa kekuasaan Taliban sebelumnya.
Ketakutan lainnya adalah akan masa depan anak-anak mereka.
Mereka juga khawatir karena kepanikan yang ditunjukkan ketika puluhan ribu orang asing dan Afghanistan melarikan diri dengan angkutan udara raksasa selama dua minggu terakhir.
“Saya harus melarikan diri agar bisa memberi makan keluarga saya,” kata Mustafa, seorang pelayan di tempat makanan cepat saji, dikutip dari AP.
Mustafa harus menafkahi 11 orang keluarganya.
Dirinya mengaku mulai berpikir mencari pekerjaan di negara tetangga Iran.
Paslanya, gajinya telah dipotong 75 persen menjadi kurang dari 50 dollar AS (Rp 716.372) per bulan, sejak Taliban menyerbu Kabul.
Baca: Taliban: Afganistan Sekarang Negara yang Bebas dan Berdaulat
Baca: Taliban Rayakan Kemenangan Setelah Pasukan AS Meninggalkan Afghanistan, Sebut Kemerdekaan Penuh
Pemilik restoran piza Mohammad Yaseen mengungkpakan, penjualan harian telah anjlok, hingga membuat dirinya tidak mampu membayar sewa.
Dirinya kini berusaha mencari kenalan asing yang mungkin membantunya pindah ke luar negeri.
"Bukan untuk saya, saya ingin pergi, tetapi demi anak-anak saya," katanya.
Namun, masih ada keyakinan akan kembalinya bisnis kondisi seperti biasa di sebagian besar ibu kota Afghanistan.
Hal tersebut begitu kontras dengan pemandangan mengerikan di bandara Kabul.
Pada Selasa (31/8/2021), lalu lintas di sebagian besar Kabul telah dibuka.
Di halte dan jalanan, polisi yang sebelumnya bertugas di pemerintahan Presiden Ashraf Ghani masih melambaikan tangan mereka.
Di sisi lain, pasukan Taliban mengambil posisi di depan sebagian besar kementerian pemerintah.
Mereka mengenakan seragam kamuflase.
Ada pula yang mengenakan pakaian tradisional Afghanistan berupa celana baggy dan tunik panjang.
Pedagang kaki lima bahkan berhasil menghasilkan keuntungan, menjual bendera putih Taliban.
Tak ada pemasukan
Sementara itu, Kementerian pemerintah yang mempekerjakan ratusan ribu orang hampir tidak beroperasi.
Hal itu terjadi bahkan ketika Taliban telah mendesak beberapa untuk kembali bekerja.
Di luar Bank Nasional Afghanistan, ribuan orang berbaris dalam lima hingga enam barisan untuk menarik uang.
Taliban sendiri membatasi penarikan mingguan hingga 200 dollar AS (Rp 2,8 juta).
Noorullah, yang membuka toko perangkat keras selama 11 tahun, mengatakan tidak memiliki satu pelanggan pun sejak Taliban tiba pada 15 Agustus.
Dirinya pun tidak bisa membayar sewa tokonya.
“Bank-bank tutup. Semua orang yang punya uang lari dari negara ini,” katanya. "Tidak ada yang membawa uang ke sini."
Noorullah mengungkapkan, dia tidak memiliki kesempatan untuk pergi.
Jika ekonomi membaik, dia akan memilih untuk bertahan, bahkan dengan Taliban berkuasa.
"Saya lahir di sini. Saya tinggal di sini sepanjang hidup saya. Saya akan mati di sini," ujarnya.
Berkaca pada kehadiran militer AS selama 20 tahun belakangan, Noorullah mengatakan dia kecewa.
"Amerika tidak melakukan pekerjaan dengan baik di sini. Mereka membiarkan korupsi tumbuh sampai tidak ada yang tersisa.”
(TRIBUNNEWSWIKI.COM/PUTRADI PAMUNGKAS)
SIMAK ARTIKEL SEPUTAR KONFLIK AFGHANISTAN DI SINI