Mengenal Sosok Gus Dur, Ulama di Balik Kebebasan Perayaan Imlek di Indonesia

Berkat kebijakan Gus Dur, masyarakat Tionghoa bebas merayakan Imlek seperti sekarang


zoom-inlihat foto
gus-dur21.jpg
KOMPAS / TOTOK WIJAYANTO
PRESIDEN KE-4 RI, ABDURRAHMAN WAHID (GUS DUR).


TRIBUNNEWSWIKI.COM - Masyarakat Tionghoa akan merayakan hari Imlek pada Jumat, 12 Februari 2020.

Perayaan Imlek di tanah air tak bisa dilepaskan dari peran Presiden Keempat RI, Abdurrahman Wahid.

Ulama yang akrab disapa Gus Dur itu memiliki peran besar, sehingga masyarakat Tionghoa bisa merayaan Imlek di Indonesia.

Perayaan tersebut tak boleh dilakukan secara terbuka pada era Orde Baru, di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto.

Sementara itu, untuk kategori agama dan kepercayaan China ataupun pelaksanaan dan cara ibadah dan adat istiadat China itu diatur oleh Menteri Agama setelah mendengar pertimbangan Jaksa Agung.

Imlek dan Cap Go Meh kemudian masuk dalam kategori tersebut, sebagaimana diberitakan Kompas.com pada 2020 silam.

Bebaskan perayaan

Imlek Setelah Soeharto lengser pada 1998, diskriminasi terhadap etnis tertentu tak serta merta menghilang.

Tindakan diskriminatif kerap kali muncul, salah satunya saat etnis Tionghoa diwajibkan menyertakan surat bukti kewarganegaraan RI ketika mengurus dokumen kependudukan.

Namun, saat Gus Dur menjabat sebagai presiden, perubahan pun terjadi.

Baca: Soal Unggahan Guyonan Gus Dur, Inaya Wahid Beri Sindiran untuk Polisi: Panggil yang Bikin Joke Pak

Abdurrahman Wahid Tertawa Bersama Salahuddin Wahid Sebelum Dimulainya Musyawarah Kerja Nasional III PKB Di Hotel Kartika Chandra, Jakarta, Selasa (31/8/2004)
Abdurrahman Wahid Tertawa Bersama Salahuddin Wahid Sebelum Dimulainya Musyawarah Kerja Nasional III PKB Di Hotel Kartika Chandra, Jakarta, Selasa (31/8/2004) (KOMPAS/AGUS SUSANTO)

Gus Dur mengambil langkah spontan dengan mencabut Inpres Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat China.

Dilansir dari Harian Kompas, Sekretaris Dewan Rohaniwan Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia Budi Tanuwibowo mengaku masih ingat bagaimana latar belakang dicabutnya Inpres tersebut.

Menurut dia, pencabutan Inpres tersebut sangat unik.

Prosesnya terbilang cepat dan spontan.

Budi bahkan sempat kaget melihat sikap Gus Dur.

"Waktu itu, kami ngobrol sambil berjalan mengelilingi Istana. Gus Dur lalu bilang, oke, Imlek digelar dua kali, di Jakarta dan Surabaya untuk Cap Go Meh. Kaget juga saya," kata Budi, dikutip Kompas.com dari Harian Kompas yang terbit 7 Februari 2016.

Baca: Awalnya Tak Dipercaya, Gus Dur Pernah Prediksi Habibie Jatuh dari Presiden, Tahu dari Karangan Bunga

Perayaan Imlek dan Cap Gomeh tentu akan terhambat Inpres Nomor 14 Tahun 1967.

Namun, Gus Dur dengan spontan berkata akan segera mencabut Inpres tersebut.

Inpres akhirnya dicabut dengan terbitnya Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 6 Tahun 2000 pada 17 Januari 2000.

Karena Keppres tersebut, masyarakat Tionghoa akhirnya bisa merayakan Imlek atau hari raya lainnya secara terbuka. Kemeriahan Imlek akhirnya bisa dirasakan di Indonesia.

Nuansa warna merah, lampion gantung, dan hiasan angpao tampak indah menghiasi pertokoan.

Atraksi barongsai juga ikut menjadi daya tarik saat perayaan Imlek.

Baca: Yenny Wahid Sebut BJ Habibie Miliki Banyak Kesamaan Karakter dengan Gus Dur

Meski sudah bisa merayakan secara terbuka, baru dua tahun kemudian, tepat di era kepemimpinan Presiden Megawati Soekarnoputri, Imlek dijadikan hari nasional.

Hal itu disampaikan Mega saat menghadiri Peringatan Nasional Tahun Baru Imlek 2553 pada 17 Februari 2002.

Sementara itu, penetapan Imlek sebagai hari libur nasional baru dilakukan pada 2003.

Bapak Tionghoa Indonesia

Ilustrasi Imlek di China
Ilustrasi Imlek di China (Unsplash.com/@alanaharris)

Meski sudah mencabut Inpres Nomor Nomor 14 Tahun 1967, pada tahun 2004 Gus Dur menyebut setidaknya ada ribuan peraturan yang memicu diskriminasi.

"Masih ada 4.126 peraturan yang belum dicabut, misalnya, soal SBKRI. Itu kan sesuatu yang tidak ada gunanya," kata Gus Dur dikutip dari Harian Kompas yang terbit pada 11 Maret 2004.

Gus Dur termasuk salah seorang yang tidak setuju dengan aturan yang bersifat diskriminatif termasuk pada etnis Tionghoa.

Dia pun meminta masyarkat Tionghoa untuk terus berani memperjuangkan hak-haknya.

"Di mana-mana di dunia, kalau orang lahir ya yang dipakai akta kelahiran, orang menikah ya surat kawin, tidak ada surat bukti kewarganegaraan. Karena itu, saya mengimbau kawan-kawan dari etnis Tionghoa agar berani membela haknya," ujar dia.

Gus Dur mengatakan, etnis Tionghoa juga bagian dari Bangsa Indonesia.

Baca: Tahun Baru Imlek

Karena itu, tokoh Nahdlatul Ulama ini meminta seluruh masyarakat Indonesia memberikan hak dan kesempatan yang sama.

"Mereka adalah orang Indonesia, tidak boleh dikucilkan hanya diberi satu tempat saja. Kalau ada yang mencerca mereka tidak aktif di masyarakat, itu karena tidak diberi kesempatan," ucap Gus Dur.

"Cara terbaik, bangsa kita harus membuka semua pintu kehidupan bagi bangsa Tionghoa sehingga mereka bisa dituntut sepenuhnya menjadi bangsa Indonesia," ujar dia.

Atas kebijakan dan pemikirannya, Gus Dur akhirnya mendapat gelar "Bapak Tionghoa Indonesia".

Baca: Deretan Promo KFC Terbaru Januari 2021, Menu Imlek Mulai Rp 22 Ribuan

Bagi kaum Tionghoa, Gus Dur dinilai telah menghapus kekangan tekanan dan prasangka.

Sebab, pada masa lalu, masyarakat Tionghoa kerap mendapat stigma yang buruk baik dari pemerintah ataupun masyarakat dari etnis lainnya.

Gus Dur juga dinilai telah berjasa membawa kesetaraan pada masyarakat Indonesia.

(TribunnewsWiki.com/nr, Kompas.com/Sania Mashabi)

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Peran Gus Dur di Balik Kebebasan Merayakan Imlek di Indonesia..."





BERITATERKAIT
Ikuti kami di
KOMENTAR

ARTIKEL TERKINI

Artikel POPULER

© 2025 tribunnnewswiki.com,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved