TRIBUNNEWSWIKI.COM - Selama pandemi Covid-19, siswa-siswi sekolah dari jenjang Paud, SD, SMP dan SMA belajar di rumah masing-masing dengan sistem belajar jarak jauh.
Hal itu dilakukan demi menekan penularan Covid-19 yang sangat mudah antar manusia.
Terlebih, anak-anak di sekolah terbilang agak sulit dan sedikit abai untuk menjalankan protokol kesehatan dan hal ini tentu membahayakan kesehatan generasi penerus bangsa Indonesia.
Selain itu, keberadaan sekolah atau pendidikan tatap muka langsung pun akan membuat kerumunan di satu dua tempat yang tentu meperbesar resiko penularan Covid-19.
Maka dari itu, pandemi Covid-19 membuat siswa yang tinggal di zona merah, oranye dan kuning masih harus melakukan pembelajaran jarak jauh di tahun ajaran baru.
Terkait dengan pengalaman siswa belajar dari rumah selama masa pandemi Covid-19, merangkum dari laman Sahabat Keluarga Kemendikbud, UNICEF menyelenggarakan survei pada 18-29 Mei 2020 dan 5-8 Juni 2020 lalu.
Selama survei, UNICEF menerima lebih dari 4 ribu tanggapan dari siswa di 34 provinsi Indonesia, melalui kanal U-Report yang terdiri dari SMS, WhatsApp, dan Messenger.
Baca: Kemendikbud Resmi Ringankan Biaya Kuliah PTN dan PTS: Berikut Jenis Skema UKT untuk Perguruan Tinggi
Baca: Tidak Ada Perkuliahan Secara Tatap Muka Hingga Akhir 2020, Mendikbud: Keselamatan Nomor Satu
Baca: Kabar Gembira untuk Mahasiswa Indonesia, Mendikbud Nadiem Ambil Keputusan Ringankan Biaya Kuliah
Hasil survei menyebut, sebanyak 66 persen dari 60 juta siswa dari berbagai jenjang pendidikan di 34 provinsi mengaku tidak nyaman belajar di rumah selama pandemi Covid-19. Dari jumlah tersebut, 87 persen siswa ingin segera kembali belajar di sekolah.
Lalu, 88 persen siswa juga bersedia mengenakan masker di sekolah dan 90 persen mengatakan pentingnya jarak fisik jika mereka melanjutkan pembelajaran di kelas.
Meski begitu, siswa telah menyadari dampak Covid-19 bila mereka kembali ke sekolah, sehingga menurut mereka akan lebih baik untuk menunggu sampai jumlah kasus COVID-19 berkurang.
Alasan siswa tak nyaman belajar dari rumah bukan tanpa alasan ketimbang belajar di sekolah.
Survei juga mendapati, selama belajar di rumah, 38 persen siswa yang jadi responden mengatakan kekurangan bimbingan dari guru menjadi kendala utama.
Sementara 35 persen menyebutkan akses internet yang buruk.
Jika pembelajaran jarak jauh berlanjut, lebih dari setengah atau 62 persen responden mengakui membutuhkan kuota internet.
Menanggapi hasil survei itu, perwakilan UNICEF di Indonesia Debora Comini mengatakan, sangat penting bagi pemerintah untuk memprioritaskan pembelajaran anak-anak, baik di sekolah atau jarak jauh selama masa pandemi Covid-19.
“Anak-anak yang paling rentan adalah yang paling terpukul oleh penutupan sekolah, dan kita tahu dari krisis sebelumnya bahwa semakin lama mereka tidak bersekolah, semakin kecil kemungkinan mereka untuk kembali,” lanjut Comini.
Spesialis Pendidikan UNICEF Nugroho Warman menambahkan, orangtua dan siswa yang jadi responden mengatakan hambatan terbesar yang dihadapi murid saat belajar dari rumah adalah kurangnya akses internet dan perangkat elektronik yang mendukung.
“Orang tua juga harus fokus pada kewajiban lain untuk menghidupi keluarga mereka, yang akhirnya membuat mereka kurang memiliki waktu untuk membantu anak-anak mereka,” katanya.
Jelang sekolah dibuka
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim telah mengumumkan syarat dan mekanisme penyelenggaraan pembelajaran di masa pandemi Covid-19 melalui Siaran Langsung di kanal Youtube Kemendikbud RI hari ini, Senin (15/6/2020), pukul 16.30 WIB.
Nadiem menyatakan, untuk satuan pendidikan yang berada di zona kuning, zona oranye, zona merah dilarang melakukan pembelajaran tatap muka di satuan pendidikan.
Baca: Persiapan UTBK-SBMPTN 2020, Berikut Sumber Materi Belajar selain Buku Pelajaran dan Kumpulan Soal
Baca: Panduan Pelaksanaan Pembelajaran di Pendidikan Keagamaan Selama Pandemi Covid-19 dari Kemenag
Baca: Kemendikbud Bakal Tayangkan Film Dokumenter Netflix dalam Program Belajar dari Rumah di TVRI
Satuan pendidikan pada zona-zona tersebut, lanjut Nadiem, tetap melanjutkan Belajar dari Rumah (BDR).
"Jadinya untuk zona merah, kuning, dan oranye ini merepresentasikan pada saat ini 94 persen daripada peserta didik di pendidikan usia dini, dan menengah. Sekitar 94 persen dari peserta didik kita tidak diperkenankan pembelajaran tatap muka karena masih ada risiko penyebaran Covid-19," papar Nadiem, Senin (15/6/2020).
Bahwa saat ini, lanjut Nadiem, karena hanya 6 persen dari populasi peserta didik yang di zona hijau, hanya merekalah yang pemerintah daerahnya boleh mengambil keputusan sekolah dengan tatap muka.
Walau begitu, Nadiem menegaskan bahwa tahun ajaran baru akan berjalan sesuai dengan jadwal.
"Tahun ajaran 2020/2021 itu tidak berubah jadwalnya. Tetap di bulan Juli. Jadwal itu tak berdampak kepada metode yang dilakukan baik daring atau tatap muka," tambah Nadiem.
Syarat pembukaan sekolah di zona hijau
Pembukaan sekolah di zona hijau pun, disebut Nadiem, harus memenuhi banyak persyaratan.
Syarat pertama ialah berada pada zona hijau. Lalu Pemda atau Kanwil atau kantor Kemenag memberi izin.
Setelah itu, satuan pendidikan mampu memenuhi semua daftar periksa dan siap pembelajaran tatap muka.
Tak kalah penting, izin orangtua juga menjadi pertimbangan, yakni apakah orangtua setuju anaknya belajar tatap muka di sekolah atau tidak.
"Kita tidak bisa memaksa murid yang orangtuanya tidak memperkenankan untuk pergi ke sekolah karena masih belum cukup merasa aman untuk ke sekolah," papar Nadiem.
Sehingga bila orangtua murid merasa belum aman anaknya belajar di sekolah, maka murid diperkenankan belajar dari rumah.
Lalu, pembukaan sekolah untuk kegiatan belajar mengajar secara tatap muka di zona hijau dilakukan secara bertahap mulai dari jenjang SMA dan diakhiri jenjang Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD).
Selain itu, sekolah juga harus memenuhi Daftar Periksa Kesiapan Satuan Pendidikan sesuai Protokol Kesehatan Kementerian Kesehatan (Kemenkes).
"Saya sudah mention akan ada check list untuk tiap unit pendidikan kita sebelum mereka boleh sekolah tatap muka," papar Nadiem.
Daftar Periksa Kesiapan Satuan Pendidikan tersebut ialah:
1. Ketersediaan sarana sanitasi dan kebersihan: Toilet bersih Sarana cuci tangan dengan air mengalir menggunakan sabun atau cairan pembersih tangan (hand sanitizer) Disinfektan
2. Mampu mengakses fasilitas layanan kesehatan (puskesmas, klinik, rumah sakit dan lainnya).
3. Kesiapan menerapkan area wajib masker kain atau masker tembus pandang bagi yang memiliki peserta didik disabilitas rungu.
4. Memiliki thermogun (pengukur suhu tubuh tembak).
5. Pemetaan warga satuan pendidikan yang tidak boleh melakukan kegiatan di satuan pendidikan:
- Peserta didik yang sedang sakit tidak masuk dahulu.
- Orangtua atau guru yang memiliki kondisi medis penyerta yang tidak terkontrol, apakah itu diabetes atau hipertensi juga tidak masuk dulu.
- Tidak memiliki akses transportasi yang memungkinkan penerapan jaga jarak.
- Memiliki riwayat perjalanan dari zona kuning, oranye, dan merah atau riwayat kontak dengan orang yang terkonfirmasi positif Covid-19 dan belum menyelesaikan isolasi mandiri selama 14 hari.
6. Membuat kesepakatan bersama komite satuan pendidikan atau senat akademik perguruan tinggi terkait kesiapan melakukan pembelajaran tatap muka di satuan pendidikan. Proses pembuatan kesepakatan tetap perlu menerapkan protokol kesehatan.
"Kami juga ingin memastikan satuan pendidikan melakukan persiapan dengan Dinas Pendidikan dan Kanwil/ Kantor Kemenag untuk berkoordinasi persiapannya," imbuh Nadiem.
(Tribunnewswiki.com/Ris)
Artikel ini sebagian tayang di Kompas.com berjudul Survei UNICEF: 66 Persen Siswa Mengaku Tak Nyaman Belajar di Rumah.