TRIBUNNEWSWIKI.COM - Apabila menandatangani perjanjian pengendalian senjata strategis baru, China bisa kehilangan nyaris semua rudal balistik dan jelajahnya yang berjumlah ribuan.
Hal ini merupakan hasil analisis yang dirilis oleh Lembaga Penelitian Strategis Internasional (IISS) .
Analisis bertajuk Akhir dari Perjanjian Jangka Menengah Jangkauan Nuklir: Implikasinya untuk Asia adalah salah satu bab dari penilaian keamanan regional Asia-Pasifik tahunan yang IISS terbitkan.
Mengutip Defense News, laporan lembaga think thank rilis Jumat (5/6) lalu dan membahas topik keamanan regional, seperti hubungan China-Amerika Serikat (AS), Korea Utara, dan kebijakan Jepang.
China bisa kehilangan 95% persediaan rudal balistik dan jelajahnya kalau meneken kesepakatan yang mirip dengan Perjanjian Kekuatan Nuklir Jangka Menengah (INF), menurut Douglas Barrie, Michael Elleman, dan Meia Nouwens, penulis analisis tersebut.
Perjanjian yang ditandatangani AS dan Uni Soviet pada 1987 itu melarang semua sistem rudal balistik yang diluncurkan dengan jangkauan 500-5.500 kilometer.
AS menarik diri dari Perjanjian INF pada Agustus 2019, menyusul pelanggaran Rusia terhadap kesepakatan dengan melakukan pengembangan dan peluncuran rudal 9M279, meski Moskow membantah itu melanggar batasan jangkauan.
Namun, laporan IISS menyebutkan penarikan AS juga ada kaitannya dengan persenjataan rudal China, yang berkembang menjadi apa yang diyakini sebagai persediaan rudal balistik jarak pendek dan menengah terbesar di dunia.
Baca: Perundingan China dengan India Gagal, China Gelar Operasi Manuver Libatkan Ribuan Penerjun Payung
Baca: China Semakin Agresif Bangun Teknologi di Laut China Selatan, Tekanan untuk Indonesia dan Malaysia
IISS memperkirakan, China memiliki lebih dari 2.200 rudal yang termasuk dalam pembatasan Perjanjian INF.
Rudal jarak pendek dan menengah ini adalah aset penting dalam memberikan tekanan kepada Taiwan, yang China anggap sebagai provinsi pembangkang dan berjanji untuk menyatukan kembali dengan Tiongkok, dengan kekerasan jika perlu
Meski demikian, China selalu menekankan, rudal balistik dan jelajah hanya untuk tujuan defensif.
Rudal-rudal tersebut memberi China apa yang IISS gambarkan sebagai "keunggulan komparatif" di kawasan Asia-Pasifik, sehingga kecil kemungkinan Tiongkok akan dengan sukarela menandatangani pakta kontrol senjata potensial seperti Perjanjian INF.
Laporan IISS menyebutkan AS mungkin mengerahkan rudal tersebut ke kawasan Asia-Pasifik untuk mengatasi ketidakseimbangan mereka dalam senjata itu dengan saingannya.
Hanya, IISS mengingatkan, ada risiko dua kali lipat dalam pengerahan senjata-senjata semacam itu ke Asia-Pasifik.
"Memperburuk kekhawatiran China bahwa rudal akan diposisikan untuk digunakan melawannya, meningkatkan potensi respons dari China yang bisa mengarah pada siklus aksi-reaksi pengembangan dan penyebaran senjata dan berlanjutnya ketidakstabilan regional," sebut IISS.
Baca: Berdasarkan Data Intelijen, Senator Amerika Serikat Sebut China Sabotase Pengembangan Vaksin Corona
Baca: Para Jenderal Top dari China dan India Adakan Pertemuan di Perbatasan, Apa yang Mereka Sepakati?
AS juga dihadapkan dengan kesulitan mendasar, dengan sekutu dan mitra regional yang tidak mungkin menyetujui untuk menempatkan rudal semacam itu di wilayah mereka. Sebagian karena khawatir China melakukan pembalasan diplomatik dan ekonomi.
Laporan IISS menyatakan, China menargetkan ekonomi Korea Selatan sebagai tanggapan dan ketidaksukaannya atas sistem pertahanan rudal AS di negeri ginseng pada tahun 2017.
Jebakan Utang dari China Diungkap Eks PM Malaysia Mahathir, Sebut Strategi Bangun Pangkalan Militer
Pembangunan ekonomi yang sangat pesat oleh negara China menjadikan negara tersebut kaya raya dan memiliki segalanya
Kelebihan uang dan sumber daya membuat China sanggup berinvestasi di manapun.
Di sisi lain, jumlah penduduk yang luar biasa banyak menjadikan negara itu harus berpikir keras membuat rakyatanya sejahtera
Meskpun kaya, di China sendiri sangat sulit mendapatkan pekerjaan dan dengan cara menguasai ekonomi negara lain maka ada nilai tawar China bisa menyalurkan rakyatnya bekerja di negara-negara penerima hutang.
Salah satu contohnya adalah negara Malaysia yang baru saja melewati fase pergantian kepemimpinan.
Diketahui banyak pekerja China yang datang ke negeri Malayasia.
Negeri Jiran ini juga diketahui memiliki utang besar kepada China.
Mahathir bin Mohamad yang mundur sebagai PM Malaysia pada Februari lalu, pernah memberikan peringatan keras bagi negara manapun yang berhutang ke China.
Baca: India dan China Semakin Memanas, Kerahkan Batalion Infantri hingga Jet Tempur di Perbatasa
Bagi Mahathir, utang dari China adalah jebakan.
Saat Mahathir masih menjabat sebagai Perdana Menteri (PM) Malaysia , dia berujar jika tak bisa melunasinya maka negara pengutang akan berada di bawah kontrol China.
Waktu itu Malaysia di bawah kontrol China karena pemerintahan Najib Razak mengambil pinjaman ke Negeri Tirai Bambu namun tak bisa dilunasi malah dikorupsi.
Hal ini membuat Mahathir harus pergi jauh-jauh ke Jepang untuk berhutang.
Gali lubang tutup lubang, utangan dari Jepang itu untuk melunasi utang Malaysia ke China.
Mahathir melontarkan peringatan ini lantaran Filipina ia sebut sedang mendapat gelontoran dana dari Investor asal China, dilansir Kontan 19 Maret 2019 lalu.
Mahathir memperingatkan agar Filipina berhati-hati mengenai potensi jebakan yang bisa menimpa mereka jika tak bisa melunasi pinjaman layaknya Malaysia.
Dikatakan olehnya, China sedang 'menjajah' negara-negara yang lebih kecil dengan meminjamkan sejumlah besar uang yang tidak akan sanggup mereka dibayar.
Tahun 2018, bahkan negara ini sudah dituduh memanfaatkan pinjaman besar-besaran agar dapat merebut aset dan membangun pangkalan militer di negara-negara kecil dunia ketiga.
Bukan sekadar perkiraan, dilansir dari The Sun, nyatanya memang sudah ada negara yang menunggak hutang.
Negara ini juga dipaksa untuk menyerahkan kendali aset negaranya atau harus mengizinkan China untuk mempunyai pangkalan militer di negara tersebut.
Ada yang menyebutnya "diplomasi jebakan utang" atau "kolonialisme utang."
Mereka menawarkan pinjaman bagi negara-negara yang tidak mampu membayar, dan kemudian menuntut konsesi ketika mereka gagal.
Salah satu yang harus menanggung konsesi ini adalah Sri Lanka.
Tahun 2017 Sri Lanka menyerahkan pelabuhan ke perusahaan-perusahaan yang dimiliki oleh pemerintah China dengan sewa 99 tahun.
Sementara itu, di Djibouti, tempat markas utama militer AS di Afrika, juga tampaknya akan menyerahkan kendali atas pelabuhan ke perusahaan Beijing.
Maret 2018 lalu, mantan Menteri Luar Negeri AS, Rex Tillerson mengatakan bahwa Beijing melakukan praktik peminjaman predator, dan transaksi korup untuk menjadikan negara-negara kecil terbelit utang untuk kemudian melemahkan kedaulatan mereka.
Diplomasi jebakan utang ini bahkan telah meluas hingga ke Pasifik.
Beijing membuat pulau-pulau buatan manusia di Laut Cina Selatan dan hal itu dikhawatirkan akan digunakan sebagai pangkalan militer.
Bahkan, pada April 2018 lalu China mendekati Vanuatu, negara kepulauan di Samudra Pasifik selatan untuk mendirikan pangkalan militer.
The Times juga melaporkan bahwa secara efektif China akan meningkatkan kehadiran militernya di pintu gerbang utama ke pantai timur Australia.
Di antara proyek-proyek yang didanai uang ini adalah dermaga terbesar di Pasifik Selatan yang dianggap mampu mengakomodasi kapal induk.
Lembaga think tank Lowy Institute Sydney, yang telah memantau secara dekat kegiatan-kegiatan China di Pasifik, memperkirakan Beijing telah menggelontorkan hampir 1,4 miliar poundsterling atau setara dengan Rp 27 Triliun ke negara-negara Pasifik sejak 2006.
(TRIBUNNEWSWIKI.COM/Dinar/Tyo/KONTAN/SS. Kurniawan)
Sebagian artikel ini telah tayang di Kontan.co.id dengan judul "Punya 2.200 rudal balistik, China bisa kehilangan 95%-nya jika teken perjanjian"