Angka Bunuh Diri Jepang Turun di Tengah Pandemi Covid-19, Ahli: Bisa Meningkat Ketika Bencana Usai

angka bunuh diri pada April di Jepang turun hampir 20 persen dari tahun sebelumnya di tengah pandemi


zoom-inlihat foto
perempuan-di-jepang-mengenakan-masker-wajah.jpg
BEHROUZ MEHRI / AFP
ILUSTRASI Kesendirian di tengah pandemi dan hubungannya dengan bunuh diri --- Perempuan di Tokyo, Jepang mengenakan masker wajah, Selasa (7/2/2020).


TRIBUNNEWSWIKI.COM - Di tengah pandemi Covid-19, angka bunuh diri pada April di Jepang turun hampir 20 persen dari tahun sebelumnya.

Akan tetapi para pakar dan pejabat memperingatkan mungkin ada peningkatan jumah kasus bunuh diri.

Diberitakan TribunnewsWiki.com dari The Japan Times, faktanya Covid-19 berdampak pada mata pencaharian dan kesehatan mental banyak orang di seluruh negara.

Pandemi telah merampas pekerjaan mereka dan meningkatkan risiko kekerasan dalam rumah tangga hingga pelecehan anak.

Kondisi ini diperburuk dengan banyaknya kelompok pencegahan bunuh diri yang mendapati diri mereka di ambang disfungsi.

Pandemi membuat organisasi mereka dipaksa untuk berhemat dan menunda kegiatan karena virus.

ILUSTRASI suasana di Jepang saat pandemi Covid-19 --- Orang-orang berjalan di jalan sepi di tengah kekhawatiran tentang penyebaran virus corona COVID-19 di distrik perbelanjaan Ameya-Yokocho, yang terletak di sebelah Stasiun Ueno di Tokyo pada 11 April 2020. Gubernur Tokyo Yuriko Koike mengatakan pada 10 April bahwa pemerintah metropolitan akan meminta banyak bisnis, termasuk klub malam, tempat karaoke, dan tempat pinball pachinko untuk menunda operasi mulai 11 April karena keadaan darurat terkait epidemi coronavirus.
ILUSTRASI suasana di Jepang saat pandemi Covid-19 --- Orang-orang berjalan di jalan sepi di tengah kekhawatiran tentang penyebaran virus corona COVID-19 di distrik perbelanjaan Ameya-Yokocho, yang terletak di sebelah Stasiun Ueno di Tokyo pada 11 April 2020. Gubernur Tokyo Yuriko Koike mengatakan pada 10 April bahwa pemerintah metropolitan akan meminta banyak bisnis, termasuk klub malam, tempat karaoke, dan tempat pinball pachinko untuk menunda operasi mulai 11 April karena keadaan darurat terkait epidemi coronavirus. (Kazuhiro NOGI / AFP)

Baca: Laju Penularan Berkurang, Jepang Cabut Status Darurat Covid-19 di Sebagian Besar Wilayah

Statistik bulanan kementerian menunjukkan jumlah kasus bunuh diri pada bulan April mencapai 1.455, turun 19,8 persen dari angka 1.814 tahun sebelumnya.

Angka ini menandai penurunan terbesar dalam lima tahun.

Kemudian muncul spekulasi turunnya angka ini disebabkan karena ditutupnya sekolah dan dimulainya kebiasaan bekerja serta komunikasi jarak jauh.

Hal ini membuat orang-orang relatif tidak tertekan dari tugas yang berat.

"Sangat mungkin bahwa coronavirus tidak berperan kecil dalam menyebabkan" penurunan itu, kata seorang pejabat kementerian.

Namun, ia menekankan, hal itu masih memerlukan pengawasan dan penelitian lebih lanjut.

Yasuyuki Shimizu, yang mengelola Lifelink, organisasi pencegahan bunuh diri nirlaba yang berbasis di Tokyo, setuju.

Solidaritas Bencana, Kesendirian, dan Bunuh Diri

ILUSTRASI --- Perempuan di Tokyo, Jepang mengenakan masker wajah, Selasa (7/2/2020).
ILUSTRASI --- Perempuan di Tokyo, Jepang mengenakan masker wajah, Selasa (7/2/2020). (BEHROUZ MEHRI / AFP)

Baca: Pertimbangkan Keselamatan dan Pendapatan, Industri Seks di Jepang Pilih Tetap Buka di Tengah Pandemi

Shimizu, bagaimanapun, mengatakan mungkin ada faktor yang berperan lebih besar, yaitu rasa solidaritas yang sering berkembang dalam bencana.

Bencana cenderung menumbuhkan persahabatan, sebagaimana dibuktikan oleh kampanye online seperti #stayathome.

Orang yang ingin bunuh diri menjadi terhibur karena tak hanya mereka sendiri yang mengalami hal itu, katanya.

Tetapi ilusi kebersamaan ini mungkin tidak bertahan lama.

Pada bulan Mei 2011 misalnya, bunuh diri melonjak dua bulan setelah Gempa Bumi Besar Jepang Timur, tsunami, dan krisis nuklir yang menghancurkan wilayah Tohoku.

Shimizu memperingatkan ini bisa terjadi lagi.

“Jika pandemi bergerak ke arah penurunan, kembalinya ke keadaan normal yang dinikmati oleh beberapa orang akan memperlebar celah dengan mereka yang masih tidak dapat merekonstruksi hidup mereka. Orang-orang yang sebelumnya diyakinkan oleh penderitaan orang lain mungkin mulai merasa seolah-olah mereka tertinggal,” kata Shimizu.

Bahkan jika tidak, kata Shimizu, bunuh diri kemungkinan akan meningkat karena pandemi menyebabkan ketegangan keuangan bagi banyak orang.

"Apakah Covid-19 berjalan terus atau tidak, saya pikir itu tidak dapat dihindari, risiko bunuh diri akan meningkat ke depan," katanya.

Rasa urgensi ini juga dimiliki oleh sekelompok anggota parlemen non-partisan yang ditugaskan untuk mencegah bunuh diri.

Dalam sebuah petisi yang diajukan kepada menteri kesehatan Katsunobu Kato pada Maret, kelompok itu mengatakan kisah Covid-19 mengingatkan kita pada tahun 1998.

Pada waktu itu, pengangguran akibat kebangkrutan Yamaichi Securities Co. dan Hokkaido Takushoku Bank membuat banyak pria paruh baya mengakhiri hidup.

Untuk mencegah terulangnya tahun mimpi buruk itu, kelompok itu meminta Kato untuk mendukung layanan hotline dan memberikan langkah-langkah tegas terhadap pengangguran dan tuna wisma.

Kementerian Kesehatan sekarang telah menawarkan hotline media sosial yang berspesialisasi dalam masalah yang berhubungan dengan coronavirus.

Untuk mengendalikan bunuh diri, Shimizu mengatakan pemerintah harus memprioritaskan menanamkan "rasa aman yang lebih besar" di antara masyarakat.

Hal itu bisa dilakukan dengan menjamin apa yang disebutnya "jaring pengaman terakhir", yaitu tunjangan kesejahteraan.

Penghitungan yang disusun oleh NHK menunjukkan bahwa jumlah mereka yang mengajukan tunjangan kesejahteraan di 23 distrik Tokyo bulan lalu melonjak 31 persen dari tahun sebelumnya.

Angka ini menunjukkan meningkatnya kesulitan ekonomi yang disebabkan oleh virus.

Ilustrasi suasana di Jepang - Orang-orang yang mengenakan masker wajah sebagai tindakan pencegahan terhadap coronavirus COVID-19 di jalan distrik perbelanjaan Ameya-Yokocho, yang terletak di sebelah Stasiun Ueno, di Tokyo pada 11 April 2020. Gubernur Tokyo Yuriko Koike mengatakan pada 10 April bahwa pemerintah metropolitan akan meminta banyak bisnis, termasuk klub malam, ruang karaoke, dan ruang pinball pachinko untuk menangguhkan operasi mulai 11 April karena keadaan darurat terkait epidemi coronavirus.
Ilustrasi suasana di Jepang - Orang-orang yang mengenakan masker wajah sebagai tindakan pencegahan terhadap coronavirus COVID-19 di jalan distrik perbelanjaan Ameya-Yokocho, yang terletak di sebelah Stasiun Ueno, di Tokyo pada 11 April 2020. Gubernur Tokyo Yuriko Koike mengatakan pada 10 April bahwa pemerintah metropolitan akan meminta banyak bisnis, termasuk klub malam, ruang karaoke, dan ruang pinball pachinko untuk menangguhkan operasi mulai 11 April karena keadaan darurat terkait epidemi coronavirus. (Kazuhiro NOGI / AFP)

Baca: Seorang Ilmuwan Kritik Pemerintah Jepang Lantaran Lambat dalam Tangani Pandemi Covid-19

Meskipun pemerintah telah meluncurkan rencana untuk membagikan subsidi bisnis dan pekerja freelance, Shimizu mengatakan prioritasnya adalah membuat program kesejahteraan.

Meningkatnya risiko bunuh diri selama pandemi menunjukkan organisasi pencegahan bunuh diri memainkan peran yang lebih penting daripada sebelumnya sebagai penyangga stres.

Tetapi survei terbaru menunjukkan banyak dari organisasi-organisasi ini berada di tempat yang sulit.

Mereka tidak mampu mempertahankan tingkat dukungan yang sama seperti sebelum epidemi.

Sebuah jajak pendapat oleh Pusat Promosi Penanggulangan Bunuh Diri Jepang pada akhir April menemukan bahwa 83,6 persen dari organisasi-organisasi ini harus mengurangi atau menghentikan kegiatan karena virus membuat pertemuan dan konsultasi tatap muka menjadi sulit dilakukan.

Apa lagi para pegiat organisasi ini didominasi sukarelawan lansia.

Timbul kekhawatiran mereka akan tertular Covid-19 jika memberikan layanan seperti biasa.

Tokyo Jisatsu Boshi Center (pusat pencegahan bunuh diri Tokyo) adalah satu di antara NPO yang terpaksa untuk mengurangi operasi.

"Dalam periode ketika harus tinggal di rumah saja, banyak orang merasa terputus dari masyarakat, terisolasi, bergulat dengan gelombang kecemasan ketika mereka kehilangan pekerjaan, melihat pendapatan mereka berkurang dan merasa semakin tidak pasti tentang masa depan mereka," kata Nakayama.

“Jadi ketika kami harus mematikan sementara hotline, kami merasa sangat menyesal (karena) sekarang adalah waktu yang tepat di mana kami ingin menjadi berguna dan berbagi penderitaan mereka,” katanya.

Setelah dipaksa untuk menghentikan konsultasi telepon pada bulan April, kelompok itu berhasil melanjutkan layanan minggu lalu, meskipun ketersediaannya turun menjadi seminggu sekali pada Selasa malam.

(TRIBUNNEWSWIKI.COM/Ahmad Nur Rosikin)





BERITATERKAIT
Ikuti kami di
KOMENTAR

ARTIKEL TERKINI

Artikel POPULER

© 2025 tribunnnewswiki.com,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved