TRIBUNNEWSWIKI.COM – Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengakui bahwa pemerintah tidak menyampaikan seluruh informasi terkait virus corona kepada masyarakat.
Menurut Jokowi, hal tersebut dilakukan agar tidak menimbulkan kepanikan di tengah masyarakat.
"Saya sampaikan penanganan pandemi Covid-19 terus menjadi perhatian kita. Memang ada yang kita sampaikan dan ada yang tidak kita sampaikan. Karena kita tidak ingin menimbulkan keresahan dan kepanikan di tengah masyarakat," kata Jokowi di Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta, Jumat (13/3/2020).
Meski demikian, Jokowi menegaskan jika pemerintah terus mengupayakan kesiapan dan ketangguhan dalam menghadapi penyebaran covid-19 di Indonesia.
Langkah-langkah serius, menurut dia, telah diambil untuk menangani pandemi yang jumlahnya di Indonesia sendiri sudah mencapai 34 kasus.
"Tetapi juga saya sampaikan, di saat yang bersamaan kita tidak ingin menciptakan rasa panik, tidak ingin menciptakan keresahan di tengah masyarakat. Oleh sebab itu, dalam penanganan memang kita tidak bersuara," ujar Jokowi seperti dikutip dari Kompas.com.
Salah satu hal yang tidak dibuka oleh pemerintah adalah riwayat pasien positif corona.
Presiden Jokowi mengaku, sebenarnya pemerintah ingin membuka riwayat perjalanan pasien positif virus corona ( Covid-19).
Baca: Satu Pasien Positif Virus Corona di RSUP Persahabatan Kabur, Diduga Takut Tertular Pasien Lain
Baca: Pasien Suspect Corona Meninggal di RSUD Moewardi Solo, Ganjar Pranowo: Masyarakat Tak Perlu Takut
Namun, berdasarkan kalkulasi, pemerintah menilai bahwa membuka riwayat pasien positif corona akan menimbulkan ketakutan berlebihan dari masyarakat.
"Inginnya kita sampaikan (riwayat perjalanan pasien positif Covid-19). Tapi kita menghitung kepanikan masyarakat nanti bagaimana," ujar Jokowi.
Pemerintah juga menghindari stigma negatif masyarakat bagi pasien.
Terutama, setelah ia dinyatakan sembuh.
Presiden Jokowi menegaskan, setiap pemerintahan di mana terdapat virus corona memiliki kebijakan masing-masing dalam hal pengendalian virus itu.
Meski begitu, Jokowi menegaskan tidak akan mengikuti policy negara lain yang membuka riwayat perjalanan pasien.
Indonesia sendiri memilih untuk bergerak ketika ada klaster baru tanpa harus mengumumkan di mana lokasi klaster itu berada.
"Tetapi yang jelas setiap ada klaster baru tim reaksi cepat kami langsung memagari mengenai itu," kata dia.
Pemerintah diminta buka riwayat perjalanan pasien positif corona
Dikutip dari Kompas.com, Komisi Informasi Pusat (KIP) Arif A Kuswardono meminta pemerintah pusat membuka riwayat perjalanan seluruh pasien positif corona (Covid-19).
Menurutnya, hal tersebut perlu dilakukan agar masyarakat dapat melakukan pencegahan sejak dini.
"(Informasi soal) riwayat (perjalanan) itu terkait dengan unsur potensi penyebaran daerah yang terdampak. Harus disampaikan agar masyarakat punya tindakan preventif," ujar Arif kepada Kompas.com, Kamis (12/3/2020).
Lebih lanjut, menurut Arif, masyarakat membutuhkan informasi yang jelas tentang tempat yang disinghai pasien positif virus corona.
Dengan begitu, masyarakat dapat menentukan sendiri apakah akan tetap ke tempat tersebut atau tidak.
Baca: 2 Pasien Positif Virus Corona yang Dinyatakan Sembuh Akan Tetap Diawasi Dinas Kesehatan
Baca: Satu Pasien Meninggal Dunia di RSUD Moewardi Surakarta Positif Terinfeksi Virus Corona
Riwayat perjalanan pasien positif Covid-19 juga akan menjadi panduan bagi masyarakat untuk memproteksi dirinya sendiri.
Misalnya, riwayat perjalanan pasien positif Covid-19 menunjukkan pernah ke tempat A.
Kemudian, berdasarkan informasi tersebut masyaralat dapat mengantisipasinya.
Bisa memilih tidak pergi ke tempat itu, bisa pula tetap pergi ke tempat A dengan melengkapi diri dengan alat proteksi.
Arif menyebut, justru hal yang tak boleh diungkap oleh pemerintah adalah identitas pasien.
"Kenapa? Karena pelarangannya bersifat absolut, di undang undang (KIP), tidak boleh dibuka kecuali atas izin yang bersangkutan," ujar Arif.
Kritik terhadap penanganan virus corona yang dilakukan pemerintah
Di sisi lain, koalisi masyarakat sipil juga mengkritik pemerintah terkait caranya dalam menangani pandemi Covid-19.
Koalisi yang terdiri atas sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) seperti Migrant Care, Lokataru, Kontras dan YLBHI ini mendesak agar pemerintah memperbaiki cara dalam menangani wabah virus corona.
Menurut Koordinator Kontras Yati Andriyani, cara pemerintah memberikan informasi terkait keberadaan penyakit ini jauh dari memenuhi hak-hak konstitusional masyarakat.
"Komunikasi publik pemerintah memang bisa mencegah kepanikan, tapi tidak bisa memberikan keamanan dan perlindungan atas ancaman yang nyata," kata Yati kepada Kompas.com, Jumat (13/3/2020).
Menurutnya, pemerintah justru terlihat gagap dalam menghadapi ancaman virus yang berasal dari Kota Wuhan, China ini.
Salah satunya adalah saat pemerintah justru terkesan membatasi ancaman dan perkembangan penyebaran Covid-19 di Indonesia.
Baca: Sempat Jadi Misteri, Pemerintah Akhirnya Ungkap Asal Mula Pasien Kasus 27 Tertular Virus Corona
Baca: Coronavirus Ditetapkan Sebagai Pandemi Global oleh WHO, Apa Artinya?
Pemerintah justru lebih sibuk menyerukan ancaman hoaks.
Namun, pada saat yang sama tidak disertai dengan upaya untuk membangun komunikasi dan informasi publik yang terpercaya dan komprehensif.
"Ini terlihat dari minimnya informasi mengenai daampak virus ini terhadap pasien dan lokasi-lokasi penularannya. Kebijakan ini sangat bertolak belakang dengan praktik di negara lain yang sama-sama sedang menanggulangi COVID-19," kata dia.
Yati pun mencontohkan langkah yang dilakukan pemerintah Korea Selatan yang selalu memberikan informasi terkait perkembangan kasus corona di wilayahnya.
"Pemerintah Korea Selatan misalnya, secara berkala menyiarkan bukan hanya kasus tetapi juga lokasi dari ditemukannya kasus. Informasi yang terang, disertasi dengan kepekaan untuk mencegah kepanikan dan stigma terbukti sangat bermanfaat untuk membangun kewaspadaan dan mekanisme kehati-hatian publik," imbuh Yati.
Ketertutupan informasi, menurut Yati, justru akan memberikan sinyal dan arah yang keliru untuk publik, menurunkan kewaspadaan yang bisa berakibat pada perluasan penularan wabah.
(Tribunnewswiki.com/Ami Heppy, Kompas.com/Ihsanuddin/Dani Prabowo)