TRIBUNNEWSWIKI.COM - Amerika Serikat (AS) dilaporkan mengirim sekitar 3,000 pasukan militer ke kawasan Timur Tengah beberapa jam setelah serangan AS terhadap Jenderal Pasukan Al-Quds, Qasem Soleimani.
Pengiriman 3000 pasukan AS ke Timur Tengah ini merupakan pasukan tambahan, dilaporkan oleh tiga pejabat pertahanan dan seorang pejabat militer AS yang dikutip NBC News, (4/1/2019).
Sebelumnya, AS telah mengirimkan pasukan militernya ke Timur Tengah usai ribuan orang massa menyerbu kompleks pertahanan AS.
Pengerahan pasukan militer tambahan berasal dari brigade pasukan udara 82nd Airbone Division yang berbasis di Fort Bragg, North Carolina, Amerika Serikat.
Para prajurit tambahan ini akan digabungkan dengan sekitar 650 orang prajurit lain yang sebelumnya telah dikerahkan di wilayah tersebut dan telah tinggal di sana selama kurang lebih 60 hari, kata seorang pejabat pertahanan militer AS.
Brigade Pasukan Cepat Tanggap AS / The Immediate Respon Force ini akan menyebar di seluruh wilayah di Timur Tengah bersama sejumlah pasukannya yang berada di Irak dan sebagian lainnya di Kuwait.
"Seperti yang diumumkan sebelumnya, brigade Pasukan Cepat Tanggap dari Divisi 82nd Airbone telah disiagakan untuk mempersiapkan penempatan, dan saat ini sedang dikerahkan, " kata Pentagon dalam sebuah pernyataan.
"Brigade pasukan ini akan ditempatkan di Kuwait sebagai strategi dan tindakan pencegahan melawan segala usaha yang mengancam personel dan fasilitas Amerika Serikat, serta akan membantu dalam menyusun kekuatan cadangan."
Baca: Bagaimana Donald Trump Bisa Izinkan Militer AS Bunuh Pemimpin Revolusi Iran Qasem Soleimani?
Konfirmasi AS atas Penyerangan Qasem Soleimani
Departemen Pertahanan Amerika Serikat (AS) mengeluarkan rilis resmi pernyataan penyerangan terhadap pemimpin Pasukan Pengawal Revolusi Islam / Islamic Revolutionary Guard Corps-Quds Force.
Atas perintah Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, Departemen Pertahanan Amerika Serikat mengeluarkan pernyataan resmi membunuh Qasem Soleimani, perwira militer senior Iran yang juga menjabat Kepala Islamic Revolutionary Guard Corps-Quds Force.
Islamic Revolutionary Guard Corps-Quds Force disebut sebagai organisasi teroris luar negeri, dalam rilis yang dikeluarkan oleh Departemen Pertahanan, melalui situs defense.gov (2/1/2020).
Kebijakan membunuh Qasem Soleimani merupakan bagian dari strategi defensif pemerintah Amerika Serikat untuk melindungi personilnya di luar negeri.
Menurut rilis Departemen Pertahanan AS, Jenderal Soleimani secara aktif mengembangkan rencana untuk menyerang para diplomat Amerika dan para anggota lainnya di Irak dan sejumlah kawasan.
Kebijakan 'membunuh' Jenderal Qasem Soleimani hadir lantaran pimpinan besar Iran bersama Pasukan Qudsnya bertanggungjawab atas kematian ratusan orang Amerika dan sejumlah anggota lain.
Qasem Soleimani dianggap telah mengatur serangan terhadap pangkalan koalisi di Irak selama beberapa bulan terakhir.
Satu di antaranya adalah serangan pada 27 Desember 2019 yang berujung adanya korban tewas dan terluka dari pihak Amerika dan Irak.
Jenderal Qasem Soleimani disebut menyetujui agenda serangan terhadap Kedutaan Besar Amerika Serikat di Baghdad yang terjadi pada minggu ini.
Serangan yang terjadi di Kedutaan Besar Amerika Serikat di Irak minggu ini disebut bertujuan menghalangi rencana serangan Iran selanjutnya.
Departemen Pertahanan AS menyebut akan terus mengambil semua tindakan yang diperlukan untuk melindungi orang-orang dan warganya yang bertugas di timur tengah dan di seluruh dunia.
Baca: Jenderal Qasem Soleimani Tewas di Tangan AS, Pemimpin Tertinggi Iran Bersumpah Akan Balas Dendam
Jenderal Qasem Soleimani Tewas
Jenderal Qasem Soleimani tewas dalam serangan rudal di Bandara Baghdad, Irak, dilansir BBC, Jumat (3/1/2020),
Pihak militer Irak mengemukakan Bandara Internasional Baghdad dicecar dengan serangkaian serangan rudal pada Jumat tengah malam.
Sumber keamanan Amerika menerangkan, serangan itu menargetkan konvoi paramiliter Hashed al-Shaabi, dengan delapan orang tewas, termasuk Soleimani.
Selain Soleimani, Hashed al-Shaabi mengonfirmasi bahwa pemimpin mereka, Abu Mahdi al-Muhandis juga tewas, dalam serangan yang dilakukan helikopter AS.
Serangan tersebut terjadi tiga hari setelah massa pendukung Hashed menyerbut Kedutaan Besar AS di Baghdad.
Aksi massa berujung kerusuhan tersebut terjadi setelah Pentagon menggelar serangan udara yang menewaskan 25 orang anggota Hashed.
Serangan yang terjadi Minggu (29/12/2019) itu disebut Washington merupakan balasan atas serangan roket yang menewaskan kontraktor sipil Amerika.
Melalui Pentagon, Amerika Serikat mengumumkan berhasil membunuh Jenderal Qasem Soleimani sebagai bagian dari usaha melindungi Amerika dari serangan Iran di masa mendatang.
Mayor Jenderal Qasem Soleimani disebut secara aktif merencanakan serangan diplomat maupun militer AS di wilayah Timur Tengah.
"Jenderal Soleimani dan Pasukan Quds bertanggung jawab atas kematian ratusan warga AS maupun koalisi, serta ribuan orang yang terluka," jelas Pentagon.
Pemerintah Amerika Serikat menyebut, perwira tinggi Iran's Revolutionary Guards itu mendalangi serangan terhadap markas mereka di Irak.
Termasuk, serangan roket yang menewaskan seorang kontraktor sipil AS di wilayah Kirkuk pada Jumat pekan lalu (27/12/2019).
Merespon serangan AS, Menteri Luar Negeri Iran, Mohamed Javad Zarif, menyebut langkah tersebut "berbahaya dan berpotensi menyulut eskalasi yang konyol".
Baca: AS Konfirmasi Bunuh Jenderal Qasem Soleimani, Iran Siapkan Balas Dendam, Perang Dunia 3?
Iran Balas Dendam
Dilansir WashinctonPost, Jumat (3/1/2020) , Iran mengumumkan serangan balas dendam sebagai respon atas serangan Amerika Serikat.
Pengumuman Iran ini diucapkan dengan sebuah ikrar balas dendam.
"Dengan berpulangnya dia dan dengan kekuatan Tuhan, pengabdian serta tujuannya tak akan pernah berhenti, balas dendam berat menanti untuk para penjahat yang telah menodai tangan kotor mereka dengan darahnya (Qasem Soleimani) dan lainnya atas insiden semalam, " ujar pemimpin tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khameni dalam sebuah pernyataan.
Sementara Menteri Pertahanan Iran, Amir Hatami menyebut bahwa serangan terhadap Qasem Soleimani adalah bentuk dari "Sikap Arogan Amerika Serikat".
Kepala Hubungan Luar Negeri DPR AS, Eliot Engel mengatakan serangan terhadap jenderal Iran tidak dilakukan melalui konsultasi dengan Kongres, seperti dilansri AFP, Jumat (3/1/2020),
Politisi Partai Demokrat AS tersebut menambahkan Soleimani jelas merupakan"dalang kekerasan" yang menyebabkan keluarnya "darah orang AS di tangannya".
"Namun, memaksakan kebijakan ini jelas bakal memberikan problem yang serius," imbuh Engel
"Tak hanya itu, tindakan tersebut merupakan penghinaan terhadap kekuasaan Kongres AS sebagai lembaga yang setara," jelasnya.
Komentar Para Senator AS
Sesuai regulasi,Gedung Putih harusnya memberitahukan kepada DPR AS maupun Senat mengenai rencana militer mereka.
Namun demikian menurut pemimpin Senat Partai Demokrat, Chuck Schumer mengatakan bahwa mereka sama sekali tidak mendapat pemberitahuan akan serangan itu.
Sementara itu, respon datang dari senator Partai Republik, tempat di mana Trump berasal.
Senator Ben Sasse dari Nebraske menyebut bahwa apa yang dilakukan Trump adalah tindakan berani dan benar.
"Orang Amerika harus bangga terhadap anggota pasukan yang berhasil menyelesaikan pekerjaan" ujar Ben Sasse.
Senada dengan Ben Sasse, senator Tom Cotton dari Arkansas mengatakan bahwa kematian pimpinan Iran tersebut pantas didapatkan.
Ia menyebut, "Amerika lebih aman sekarang setelah kematian Soleimani."
Respon Anggota Senat Partai Demokrat
Dalam pernyataan yang lebih eksplisit, Senator Tom Udall dari New Mexico mengatakan, "Presiden Trump membawa bangsa kita ke ambang perang ilegal dengan Iran tanpa persetujuan kongres seperti yang disyaratkan dalam Konstitusi Amerika Serikat."
Tom Udall menambahkan: "Peningkatan permusuhan yang ceroboh seperti itu dimungkinkan dapat menjadi pelanggaran dari otoritas pembuatan perang Kongres yang bisa menempatkan pasukan dan warga AS dalam bahaya"
"Dan sangat mungkin menenggelamkan kita ke dalam perang bencana lainnya di Timur Tengah yang rakyat Amerika tidak mau dan tidak mendukung," ujar Tom Udall.
--
(TRIBUNNEWSWIKI.COM/Dinar Fitra Maghiszha)