TRIBUNNEWSWIKI.COM - Yane Oktovina Ansanay adalah perempuan asal Papua yang berhasil menyelesaikan studi di Amerika Serikat.
Fisikawan perempuan pertama asal Papua ini memiliki tekad mengakhiri krisis energi dengan memanfaatkan teknologi energi baru dan terbarukan.
Pada tahun 2015, Yane Ansanay berhasil meraih gelar doktor (Ph.D) pada usia 33 tahun di North Carolina State University, Amerika Serikat.
Sebelumnya, Yane Ansanay berhasil menyelesaikan studi master Fisika juga di tempat yang sama, seperti dilansir oleh ABC News, (16/10/2019).
Doktor fisika perempuan pertama asal Papua ini berhasil ia dapatkan usai mengungguli ilmuwan fisika dari berbagai negara, yaitu: Jepang, China, Amerika, dan Eropa.
Penerima beasiswa Graduates Research Assistant - PhD Candidate dari North Carolina State University ini mengaku tidak pernah lupa dengan tanah kelahirannya, di Jayapura, Papua.
Ditunjuk Jokowi Bangun Laboratorium Fisika Terpadu
Selain menjadi doktor fisika perempuan pertama di Papua, Yane Ansanay adalah pendiri Gerakan Papua Muda Inspiratif, yang merupakan yayasan untuk menghimpun sumber daya manusia muda berprestasi dari berbagai lintas disiplin ilmu pengetahuan asal Papua.
Gerakan ini didapuk untuk mengawali pembangunan sumber daya manusia Papua yang inovatif.
Lewat gerakan ini, Yane Ansanay mendapat tugas baru dari pemerintah untuk memimpin rencana pendirian laboratorium sains teknologi terpadu di Papua.
"Saya dipercayakan oleh RI 1, Pak Jokowi, untuk membangun laboratorium terpadu bersertifikasi."
"Nantinya ini akan menjadi lab gabungan fisika, kimia, biologi dan IT untuk menghasilkan berbagai penelitian untuk menghasilkan produk industri dari sumber daya alam yang ada di Papua dan dikelola oleh orang Papua," ungkap Yane.
Ia menambahkan bahwa jika laboratorium ini terealisasi maka akan mampu menjawab tantangan yang selama ini dihadapi kalangan akademisi dan ilmuwan di Papua dalam melakukan penelitian sains dan teknologi.
"Fasilitas lab yang kami miliki di Papua khususnya di Uncen masih terbatas."
"Instrumen yang kita miliki masih yang standar saja."
"Misalnya ketika kami ingin melakukan pengukuran karakterisasi fisika kimia dari bahan yang kami teliti, itu selalu harus dikirim keluar daerah seperti ke Bogor, Jakarta, Malang atau ITB yang memiliki instrumen lebih lengkap."
"Dengan lab terpadu ini nantinya instrumen yang kita miliki akan memiliki standar sertifikasi nasional dan internasional," kata Yane
Yane yakin bahwa kehadiran laboratorium terpadu ini nantinya dapat menjadi daya tarik ilmuwan asal Papua untuk giat berkiprah di tanah kelahirannya sendiri.
"Kalau terealisasi lab ini bisa dikembangkan menjadi lahan pekerjaan baru bagi pemuda Papua. Karena Pemda Papua sebenarnya sudah banyak kirim anak belajar ke luar negeri untuk studi lanjut."
"Tapi kadang karena di luar negeri mereka sudah terekspos dengan teknologi yang canggih, maka ketika kembali ke Papua instrumennya serba terbatas mereka jadi kecewa."
"Saya harap lab ini akan mengisi 'gap' ketimpangan itu sehingga mereka mau kembali dan berkarya di Papua."
Memilih Studi Fisika Terapan
Kecintaannya terhadap Papua membuat dirinya memutuskan untuk menekuni studi fisika terapan, khususnya energi baru dan terbarukan.
"Saya mengambil studi fisika bio material dengan spesifikasi energi baru dan terbarukan."
"Karena saya lihat ini sangat dibutuhkan di Papua dan potensinya sangat besar." kata Yane kepada ABC di Jakarta.
"Di Papua belum semua desa atau kampung mendapat aliran listrik."
"Walau ada program pemerataan listrik dari pemerintah tapi prakteknya sendiri mengalami kendala karena topografi Papua yang memang sulit berbukit-bukit atau pegunungan."
"Jadi harus ada pendekatan lain yang lebih sesuai dengan alam Papua untuk penuhi kebutuhan energi," ujar Yane.
Ditambahkan olehnya bahwa pemanfaatan energi baru dan terbarukan ini sangat mendesak dilakukan di Papua.
Menurutnya, energi terbarukan tidak hanya untuk energi listrik, masyarakat Papua juga membutuhkan sumber energi alternatif untuk menggantikan minyak tanah yang masih digunakan secara luas di tanah Papua."
"Kalau dibanyak daerah udah umum pakai gas ya, tapi di Papua belum, kami masih umum pakai minyak tanah."
"Seminggu sekali atau dua minggu sekali mobil Pertamina masuk mendrop minyak tanah dan orang-orang akan berjejer 10-20 meter mengantri minyak tanah."
"Itu pemandangan umum tidak cuma di pedalaman tapi juga di kota Jayapura." kata Yane.
Tanah Papua dan Proyek Bio Etanol
Yane Ansanay menambahkan bahwa tanah Papua sangat kaya dengan bahan-bahan alam yang bisa dikonversi menjadi energi terbarukan.
Yane mencontohkan banyaknya limbah buah-buahan di Pasar Papua yang bisa dimanfaatkan sebagai bagai pembuat bio etanol.
"Hal yang sederhana limbah buah-buahan dari pasar, kalau ada buah yang tidak dikonsumsi atau sisa ini bisa dimanfaatkan untuk bio etanol."
"Karena bioethanol kalau proses pembuatannya sempurna itu bisa jadi pengganti bensin, tapi kalau yang sederhana yang bisa dibuat di rumah-rumah itu bisa jadi pengganti minyak tanah," jelasnya.
Diakui oleh Yane, bahwa dirinya telah mengujicobakan proyek bio etanoln, namun menurutnya masih perlu jalan panjang untuk merealisasikan mimpinya menghadirkan sumber energi alternatif.
Sebagai langkah awal, ia kini bergabung sebagai staf pengajar studi Teknik geofisika di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA), Universitas Cendrawasih, Papua.
"Di Uncen kami punya tim energi baru dan terbarukan, kita tengah meneliti potensi mikro algae untuk pengganti solar, itu endemik di setiap tempat di dunia."
"Tapi sejauh ini saya tertarik untuk mengembangkan bio etanol untuk mengurangi sampah."
"Saya berharap sekarang setelah menjadi dosen penuh di kampus, ide energi bioethanol ini bisa dikembangkan." ungkapnya.
Bakat Sejak Kecil
Kemampuan Yane dalam bidang Fisika telah terlihat sejak duduk di bangku sekolah menengah.
"Fisika ilmu yang menarik karena bisa menjelaskan banyak hal yang ada di alam atau hal sederhana yang ada disekitar kita."
"Misal kita lihat awan bergerak, itu kan karena angin dan itu bisa dijelaskan dengan teori fisika." katanya.
Prestasi Yane dalam bidang Fisika ditemukan oleh program pencarian anak jenius yang dilakukan oleh Profesor Johannes Surya pada 2003.
Yane lolos seleksi mengikuti pendidikan di Surya Institut yang dikhususkan bagi anak dengan bakat dasar kuat atau jenius.
Tak hanya itu, Yane juga mendapat gemblengan langsung dari fisikawan Johannes Surya untuk mengikuti ajang Olimpiade Fisika Internasional.
"Tahun 2003-2004 setelah kelas 1 SMA, saya lolos ikut sekolah dengan Profesor Johanes Surya di Tangerang. Muridnya semua anak-anak pintar dari berbagai daerah, dari 14 orang, saya perempuan satu-satunya dan dari Papua." kata Yane.
Setelah lulus SMA, Yane melanjutkan studi fisikanya di Universitas Pelita Harapan, kemudian meraih beasiswa untuk meneruskan sekolah masternya di North Carolina State University di Amerika Serikat.
Yane Bukan Satu-Satunya Perempuan Berprestasi Papua
Menurut Yane, tanah Papua masih memiliki banyak sosok lain yang mumpuni di bidang fisika.
Ia menyebut nama rekannya yang juga alumnus North Carolina State University, yakni Maya Wospakrik.
Maya merupakan Peneliti Fisika Nuklir di Fermilab, sebuah laboratorium sains di Illinois Amerika Serikat.
Selain itu terdapat juga Anieke Boaire, perempuan pemenang First Step to Nobel Prize, sebuah kompetisi internasional Bergengsi dalam Bidang Fisika.
"Saya bermimpi, akan ada lebih banyak lagi perempuan Papua yang mampu bersaing di kancah nasional dan internasional," kata Yane
Khusus di bidang Fisika, ia mengaku optimistis masih ada banyak anak-anak muda Papua yang menaruh minat tinggi pada bidang yang satu ini.
"Mereka itu ada minat, saya lihat tantangan sebagai pengajar di Papua agak lebih dibandingkan dengan dosen di daerah lain."
"Mengajar anak-anak Papua harus perlahan-lahan, kalau bagi yang sudah punya dasar yang kuat itu bisa lebih cepat, tapi kalau bagi yang belum kita harus memberikan pemahaman lebih.
"Approachnya harus tepat dan dosen harus paham psikologi," kata Yane.
--
(TRIBUNNEWSWIKI.COM/Dinar Fitra Maghiszha/ABC News/Iffah Nur Arifah)