TRIBUNNEWSWIKI.COM - Deretan fakta soal penandatanganan surpres revisi UU KPK oleh Jokowi, dua menteri ditunjuk, ICW pertanyakan komitmen presiden berantas korupsi.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) secara resmi telah menandatangani dan mengirimkan surat presiden (surpres) terkait revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Pemerintah telah sepakat untuk membahas revisi UU KPK bersama DPR.
Dalam surpres tersebut, berisi penjelasan dari presiden bahwa ia telah menugaskan menteri untuk membahas UU KPK bersama dewan.
"Surpres RUU KPK sudah diteken presiden dan sudah dikirim ke DPR ini tadi," kata Menteri Sekretaris Negara Pratikno, Rabu (11/9/2019), dikutip dari Kompas.com.
Bersama surpres itu, dikirim daftar inventarisasi masalah (DIM) revisi UU KPK yang telah disusun oleh Kementerian Hukum dan HAM.
DIM itu berisi tanggapan Menkumham atas draf RUU KPK yang disusun DPR.
"Intinya bahwa nanti Bapak Presiden jelaskan detail seperti apa.
Tapi bahwa DIM yang dikirim pemerintah banyak merevisi draf yang dikirim DPR," kata Pratikno.
Sebelumnya, semua fraksi di DPR setuju revisi UU KPK yang diusulkan Badan Legislasi DPR.
Persetujuan seluruh fraksi disampaikan dalam rapat paripurna DPR yang digelar pada Kamis (5/9/2019) siang. Draf revisi langsung dikirim kepada Presiden Jokowi.
Pimpinan KPK dan wadah pegawai KPK sudah menyatakan penolakan terhadap revisi UU tersebut.
Lembaga antirasuah itu bahkan menyebut sembilan poin dalam revisi UU KPK yang berpotensi melemahkannya.
Poin itu antara lain soal independensi yang terancam, pembentukan dewan pengawas, penyadapan yang dibatasi, dan sejumlah kewenangan yang dipangkas.
Tunjuk Dua Menteri
Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menunjuk dua menteri untuk pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) bersama DPR.
Menurut surat presiden (surpres) bernomor R-42/Pres/09/2019 terkait revisi UU KPK, kedua menteri tersebut adalah Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly dan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB) Syafruddin.
Surpres tersebut dikirimkan ke DPR pada Rabu (11/9/2019).
Dengan terbitnya surat presiden maka pemerintah setuju untuk membahas revisi UU KPK.
Saat dikonfirmasi, anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR dari Fraksi PPP Arsul Sani menuturkan bahwa surpres dari Presiden Jokowi telah diterima oleh DPR pada Rabu sore.
"DPR sudah terima supres untuk RUU Perubahan kedua atas UU KPK sore ini," ujar Arsul, Rabu (11/9/2019) malam, dikutip dari Kompas.com.
Menurut Arsul, Badan Musyawarah (Bamus) akan menggelar rapat, Kamis (12/9/2019) untuk membahas surpres tersebut.
Kemungkinan, surpres akan dibacaakan dalam Rapat Paripurna DPR pada Jumat (13/9/2019).
"Besok Bamus, kemungkinan diparipurnakan Jumat," kata Arsul.
Sebelumnya, semua fraksi di DPR setuju revisi UU KPK yang diusulkan Badan Legislasi DPR.
Persetujuan seluruh fraksi disampaikan dalam rapat paripurna DPR yang digelar pada Kamis (5/9/2019) siang. Draf revisi langsung dikirim kepada Presiden Jokowi.
Pimpinan KPK dan wadah pegawai KPK sudah menyatakan penolakan terhadap revisi UU tersebut.
Lembaga antirasuah itu bahkan menyebut sembilan poin dalam revisi UU KPK yang berpotensi melemahkannya.
Poin itu antara lain soal independensi yang terancam, pembentukan dewan pengawas, penyadapan yang dibatasi, dan sejumlah kewenangan yang dipangkas.
ICW Pertanyakan Komitmen Jokowi
Koordinator Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesia Corruption Watch ( ICW) Tama Satrya Langkun menilai, komitmen Presiden Joko Widodo dipertanyakan karena telah menandatangani dan mengirimkan surat presiden (surpres) terkait revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
Dengan terbitnya surpres ini, pemerintah setuju untuk membahas revisi UU KPK bersama DPR.
"Komitmen Presiden dipertanyakan.
Kita mempertanyakan keberpihakan Presiden Jokowi terhadap agenda pemberentasan korupsi dengan mengirimkan Surpres tersebut yang kemudian dibahas DPR," ujar Tama saat ditemui sesuai diskusi bertajuk "Perlukah Lembaga Pengawasan untuk KPK," di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (11/9/2019), dikutip dari Kompas.com.
Tama mengingatkan Presiden agar rencana-rencana pelemahan terhadap lembaga antirasuah tidak terus berlanjut.
Ia juga meminta Presiden untuk melihat kembali Nawacita yang digagas, di antaranya untuk memperkuat KPK.
"Pertama Presiden sudah melewatkan kesempatan karena bicara soal capim KPK, ketika dia minta masukan, tapi Pak Presiden lantas memberikan 10 capim ke DPR.
Nah, sekarang ini (RUU KPK) mau seperti apa," paparnya kemudian.
Draf RUU KPK, lanjut Tama, sudah jelas melemahkan kewenangan dan independensi komisi antirasuah.
Sejatinya, Presiden Jokowi tak perlu mengirimkan Surpres tersebut karena akan menjadi bola liar bagi kepentingan politik tertentu.
"Seharusnya Presiden enggak perlu lagi ragu untuk tidak meneruskan pembahasan revisi UU KPK. Dari prosedur waktu, sampai bicara substansi, hampir semuanya punya catatan," pungkas Tama.
Diketahui, Surpres yang dikirimkan berisi penjelasan dari presiden bahwa ia telah menugaskan menteri untuk membahas UU KPK bersama dewan.
"Surpres RUU KPK sudah diteken presiden dan sudah dikirim ke DPR ini tadi," kata Menteri Sekretaris Negara Pratikno, Rabu (11/9/2019) hari ini.
Bersama surpres itu, dikirim daftar inventarisasi masalah (DIM) revisi UU KPK yang telah disusun oleh Kementerian Hukum dan HAM.
DIM itu berisi tanggapan Menkumham atas draf RUU KPK yang disusun DPR.
Sebelumnya, semua fraksi di DPR setuju revisi UU KPK yang diusulkan Badan Legislasi DPR.
Persetujuan seluruh fraksi disampaikan dalam rapat paripurna DPR yang digelar pada Kamis (5/9/2019) siang. Draf revisi langsung dikirim kepada Presiden Jokowi.
Pimpinan KPK dan wadah pegawai KPK sudah menyatakan penolakan terhadap revisi UU tersebut.
(Tribunnewswiki.com/Putradi Pamungkas, Kompas.com/Kristian Erdianto/Ihsanuddin/Christoforus Ristianto)