TRIBUNNEWSWIKI.COM – Diproklamirkannya kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 bukan berarti menyelesaikan semua permasalahan.
Justru bisa dibilang kemerdekaan Indonesia merupakan babak baru perpolitikan dalam negeri yang penuh intrik.
Di era Presiden Soekarno saja, tercatat telah terjadi beberapa usaha kudeta.
Sebagian besar, aksi kudeta tersebut dilatar belakangi ketidakpuasan suatu kelompok atas kinerja pemerintah.
Selain itu, perbedaan prinsip dan ideologi juga menjadi salah satu alasan sebuah kelompok melakukan aksi kudeta.
Peristiwa 3 Juli 1946 tercatat sebagai aksi kudeta pertama di Indonesia.
Baca: TRIBUNNEWSWIKI: Maisie Williams
Baca: Kronologi Aksi Demo Tolak Hasil Pilpres di Depan Gedung Bawaslu
Dikutip dari biografiku.com, aksi kudeta tersebut dilakukan oleh kelompok Persatuan Perjuangan yang dipimpin oleh Tan Malaka.
Mereka kecewa dengan hasil Perundingan Linggarjati yang dilakukan oleh Kabinet Sjahrir.
Sjahrir yang saat itu menjadi negosiator dianggap gagal mewujudkan pengakuan kedaulatan Republik Indonesia seratus persen, di mana wilayah yang diakui sebagai bagian dari Republik Indonesia hanya mencakup Sumatera, Jawa, dan Madura saja.
Karena kekecewaan itu, kelompok Persatuan Perjuangan bahkan sampai menculik Sutan Sjahrir pada 27 Juni 1946.
Operasi penculikan sang perdana menteri tersebut dipimpin oleh Mayor AK Yusuf.
Dikutip dari hariansejarah.net, Sjahrir baru dipulangkan ke Yogyakarta pada 30 Juni dini hari setelah Presiden Soekarno berpidato di radio-radio meminta supaya Sjahrir dan beberapa menterinya dibebaskan.
3 hari kemudian, pada 3 Juli 1946, Mayjen Sudarsono datang menghadap Presiden Soekarno.
Kepada Soekarno, Sudarsono menyodorkan maklumat yang berisi empat poin untuk ditandatangani Soekarno.
Adapun isi maklumat tersebut adalah presiden memberhentikan Kabinet Sjahrir; Presiden menyerahkan pimpinan politik, sosial, dan ekonomi kepada Dewan Pimpinan Politik; Presiden mengangkat 10 anggota Dewan Pimpinan Politik yang namanya tercantum dalam naskah; serta Presiden mengangkat 13 menteri negara yang nama-namanya juga sudah tercantum di dalam naskah.
Intinya, maklumat tersebut menuntut kepada Soekarno supaya menyerahkan pimpinan kepada kelompok yang dipimpin Tan Malaka.
Namun Soekarno enggan menerima maklumat tersebut. Hasilnya, Sudarsono dan tokoh-tokoh yang diduga terlibat dalam aksi kudeta tersebut pun ditangkap.
Pada awal September 1948, meletus peristiwa pemberontakan di Madiun.
Dikutip dari historia.id, pemberontakan tersebut diinisiasi oleh Musso dan para pimpinan sayap kiri lainnya yang tergabung dalam Front Demokrasi Rakyat (FDR).
Pergolakan ini bermula ketika Kabinet Amir Sjarifuddin jatuh karena tidak mendapat dukungan lagi. Kabinet Amir Sjarifuddin dianggap gagal dalam Perjanjian Renville.
Kabinet Amir Sjarifuddin kemudian digantukan oleh Mohammad Hatta, yang tidak disepakati oleh Amir dan kelompok sayap kiri.
Pada 13 sampai 14 Agustus 1948, dalam siding Politbiro PKI, Musso membeberkan penjelasan tentang “pekerjaan dan kesalahan partai dalam dasar organisasi dan politik” dan menawarkan resolusi yang terkenal dengan sebutan “Jalan Baru untuk Republik Indonesia”.
Jalan baru tersebut menghendaki satu partai kelas buruh bernama PKI yang beraliran Marxisme-Leninisme untuk memimpin revolusi proletariat dan mendirikan sebuah pemerintahan yang disebut Komite Front Nasional.
Selain itu, Musso juga menekankan adanya kerja sama internasional dengan Uni Soviet supaya dapat mematahkan blokade Belanda.
Usaha ini pun mendapat dukungan penuh dari Amir dan para pimpinan sayap kiri lainnya.
Mereka berencana untuk menguasai berbagai daerah di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Awal September, sejumlah pimpinan PKI melakukan safari ke beberapa daerah seperti Solo, Madiun, Kediri, Jombang, Bojonegoro, Cepu, Purwodadi, dan Wonosobo.
Hatta yang lebih suka dengan perundingan untuk mencapai kemerdekaan seutuhnya merasa dilemahkan dengan gerakan Musso tersebut.
Terlebih Hatta memberlakukan rasionalisasi tantara yang ditentang oleh kalangan komunis. Mereka menganggap rasionalisasi tersebut merupakan upaya provokasi, karena menurut mereka yang berjuang sejak 17 Agustus bukan hanya tentara, tapi juga seluruh rakyat.
Akhirnya ketegangan terjadi di Solo. Aksi saling menculik terjadi.
Ketagangan tak kunjung dapat diredam, bahkan mulai menjalar ke Madiun.
Soemarsono, Komandan Pasukan Brigade 29 yang pro-PKI menerima laporan pasukan Siliwangi akan melucuti pasukan FDR di Madiun dan menangkap para pimpinannya.
Soemarsono bergerak cepat. 18 September, dengan kekuatan pasukan 1.500 orang, ia mendahului melucuti dan menawan 350-an prajurit Siliwangi dan Brigade Mobil CPM (Corps Polisi Militer).
Masih dari historia.id, aksi ini diikuti dengan penjarahan, kepanikan penduduk, penangkapan sewenang-wenang, dan tembak-menembak. Madiun sepenuhnya dikuasai FDR dan dijadikan sebagai Pemerintahan Front Nasional.
Pemerintah dan militer pun bertindak tegas. Mereka memperteli FDR di Yogyakarta.
Setelah itu, tanpa masalah serius, pasukan Siliwangi dengan mudah menumpas kekuatan FDR di Madiun.
Para pimpinan PKI melarikan diri dari Madiun. Musso yang terlibat baku tembak tewas dalam aksi pemberontakan itu. Sementara sebelas pimpinan PKI lainnya dieksekusi mati.
Upaya kudeta kelompok Komunis di Madiun pun gagal total karena tidak mendapat dukungan penuh dari rakyat.
Dua tahun berselang, tepatnya pada 23 januari 1950, pasukan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) menyerang TNI di Bandung, Jawa Barat. Peristiwa tersebut menewaskan 79 anggota TNI.
Peristiwa ini menjadi aksi kudeta selanjurnya di masa Presiden Soekarno.
Dikutip dari historia.id, APRA sendiri merupakan kelompok yang dipimpin oleh Raymond Westerling, mantan komandan Korps Speciale Troepen (KST) yang dipecat karena aksi brutalnya di Sulawesi Selatan.
Sekitar 500 ribu orang direkrut oleh Westerling untuk bergabung dalam pasukannya.
APRA menuntut kepada pemerintah Indonesia yang saat itu masih tergabung dalam Republik Indonesia Serikat (RIS) untuk mengakui eksistensi APRA sebagai negara bagian Pasundan.
Namun akhirnya kudeta tersebut gagal karena tidak mendapat dukungan dari Tentara Islam Indonesia (TII).
Kelompok Darul Islam (DI) dan Negara Islam Indonesia (NII) yang ingin menerapkan syariat Islam di Indonesia secara konservatif juga tidak lepas dari aksi kudeta di masa Presiden Soekarno.
Gerakan ini sebenarnya sudah ada sejak 7 September 1942. Mereka bahkan ikut berperang dengan kolonial Belanda di Jawa Barat.
Kelompok ini menginginkan supaya hukum yang diterapkan di Indonesia adalah hukum Islam yang berpegang pada Al Quran dan Sunah.
Namun kudeta ini berhasil digagalkan setelah pimpinan NII yang juga teman seperguruan Soekarno, Kartosoewirjo berhasil ditangkap ketika melakukan perang gerilya pada 1962.
Peristiwa kudeta kembali terjadi pada 1965, lagi-lagi melibatkan sayap kiri. Peristiwa ini dikenal dengan Gerakan 30 September/PKI (G30S/PKI).
Selain menjadi sejarah kelam bagi Bangsa Indonesia, peristiwa ini sampai sekarang juga masih kontroversial.
Banyak sekali versi sejarah tentang peristiwa G30S/PKI.
Historia.id menyebutkan sedikitnya ada 5 versi tentang otak di balik tragedi mengerikan itu.
Pertama adalah PKI, sesuai dengan versi Orde Baru. Yang kedua karena konflik di internal Angkatan Darat, serta ada Presiden Soekarno itu sendiri.
Ada juga nama Soeharto yang disebut-sebut sebagai dalang atau otak dari kudeta tersebut. Sedangkan yang terakhir adalah Lembaga Intelijen Amerika (CIA).
Peristiwa tersebut diawali dengan adanya penculikan 6 orang dewan jenderal revolusi dan seorang perwira yang disebut-sebut dilakukan oleh PKI.
Soeharto yang saat itu menerima mandat dari Soekarno untuk menumpas kelompok kiri melakukan tugasnya, hingga terjadilah genosida besar-besaran pasca gerakan itu.
Belum diketahui secara pasti breapa total korban akibat pembantaian masal itu.
Ada yang menyebut ribuan, ratusan ribu, bahkan Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965/1966 mengklaim jumlah korban yang tewas lebih dari 3 juta orang.
Baca: 8 Film Terbaik Tentang Perang yang Wajib Banget Kamu Tonton
Baca: Aplikasi Edit Foto di Smartphone Layaknya Fotografer Profesional
Terlepas dari semua kontroversi itu, Soeharto kemudian naik tahta menggantikan Soekarno pada 12 Maret 1967.
Pelengseran ini didasari atas surat perintah sebelas maret (Supersemar) yang sampai saat ini juga masih menuai kontroversi.
Soeharto kemudian menjabat selama 32 tahun, hingga 21 Mei 1998.
(TribunnewsWIKI/Widi)